Kerajaan
Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Pada masa sebelumnya daerah Demak bernama
Bintoro yang merupakan vassal atau bawahan dari Kerajaan Majapahit. Pendirian Kerajaan Demak mendapat bantuan
dari para bupati daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah menganut
agama Islam.
Kerajaan Demak ini berdiri setelah
runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478, dengan di tandai candra sangkala:
sirna ilang kertaning bumi yang
berarti tahun 1400 Jawa. Kerajaan
Majapahit jatuh dikarenakan dua alas an yaitu karena kelemahan ekonomi serta
keruntuhan dalam negeri sendiri. Redupnya Majapahit yang semula merupakan
kerajaan besar itu disindir oleh para pujangga dengan kata-kata: Macan galak semune curiga kethul.[1]
Kerajaan Demak di dirikan oleh Raden
Patah yang kemudian bergelar Sultan Syah Alam Akbar I. Berdirinya Kerajaan Demak ditandai dengan
sengkalan: geni mati siniraman janma
atau tahun 1403 Saka atau 1478 M, setelah mundurnya Prabu Brawijaya V dari
tahta Kraton Majapahit dimana Raden Patah merupakan putra Prabu Brawijaya V
dari istri selirnya yang seorang Putri Cina seperti yang dikisahkan dalam Babad
Tanah Jawi.[2] Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Demak
berkembang dengan pesat karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai
penghasil bahan makanan sehingga terkenal menjadi kerajaan
agraris-maritim. Selain itu Kerajaan Demak
berkembang sebagai pusat perdagangan dan sebagai pusat penyebaran agam
Islam. Oleh karena itu, pada masa
pemerintahannya dibangun masjid Demak yang proses pembangunan masjid itu
dibantu oleh para wali atau sunan.
Pada tahun 1513 Raden Patah
memerintahkan Pati Unus memimpin pasukan Demak untuk menyerang Portugis di
Malaka. Serangan itu belum berhasil,
karena pasukan Portugis jauh lebih kuat dan persenjataannya lengkap. Atas usahanya itu Pati Unus mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor.
Ketika Raden Patah wafat pada tahun
1518 M, Pati Unus menggantikannya sehingga bergelar Sultan Syah Alam Akbar
II. Ia memerintah Demak dari tahun
1518-1521 M. Masa pemerintahan Pati Unus
tidak begitu lama hanya tiga tahun karena ia meninggal dalam usia yang masih
muda. Walaupun usia pemerintahannya
tidak begitu lama, namun namanya cukup dikenal sebagai panglima perang yang
memimpin pasukan Demak menyerang Portugis di Malaka.
Setelah Pati Unus meninggal tahta
Kerajaan Demak dipegang oleh saudaranya yang bernama Sultan Trenggana karena
Pati Unus tidak meninggalkan seorang putra mahkota. Sultan Trenggana memerintah Demak dari tahun
1521 M. Di bawah pemerintahannya,
Kerajaan Demak mencapai masa kejayaan.
Dalam pemerintahannya Sultan
Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya, ambisius dan melancarkan aksi
militer mengalahkan semua pelabuhan independen di bagian utara jawa dan
menghancurkan hampir semua kerajaan Hindu di Jawa. Tindakan pertama Sultan Trenggana adalah
mencegah orang Portugis membangun benteng di Jawa Barat untuk memenuhi
perjanjian yang telah disepakati dengan Raja Pajajaran, Suliwangi. Untuk memenuhi tujuannya tersebut dia
mengijinkan Hasanuddin, anak Sunan Gunungjati untuk membawa 2000 orang dari
Cirebon untuk menyerang Banten, sehingga pada tahun 1526 M kota tersebut bisa
dikuasai.[3]
Selain itu, Sultan Trenggana juga
tidak kalah giatnya dari Pati Unus dan ayahnya untuk memperkokoh singgasana
Demak dan menegakkan tiang-tiang agama Islam.
Seorang ulama terkemuka dari Pase bernama Fatahillah yang sempat tinggal glanggang colong payu dari
kepungan orang-orang Portugis, diterima oleh Sultan Trenggana bahkan dikawinkan
dengan adik Sang Raja sendiri dan ternyata ia adalah orang yang dapat
melaksanakan maksud-maksud Sultan Trenggana.[4]
Ekspedisi terakhir Sultan Trenggana
terjadi pada tahun 1546-1547 M. Itu
adalah usaha kedua untuk merebut kota
Panarukan yang masih dikuasai oleh gubernur balambangan, karena pada usaha yang
pertama dimana dia terpaksa berhenti karena perlawanan sengit dari pasukan
Balambangan, kerajaan Hindu terakhir yang tersisa di Jawa. Selama aksi militer pada usaha yang kedua
didukung oleh tentara bayaran Portugis itu, Fernao Mendes Pinto (1510-1583)
menulis sebuah buku memoir yang terkenal, Peregrinacao.[5] Tampaknya Panarukan adalah kelemahan Sultan
Trenggana karena semua serangannya telah gagal dan sementara pengepungan terus
berlangsung sehingga membuat temperamennya memburuk. Suatu hari dia kehilangan kendali dan
menghina salah satu punggawanya di depan umum yang membuat punggawa tersebut
sakit hati, kemudian menikam Sultan Trenggana hingga tewas.
Setelah wafatnya Sultan Trenggana
terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Demak, antara anak dan kakek
Trenggana. Kakek Trenggana terbunuh di
tepi sungai maka kemudian ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Sekar Seda ing
Lepen. Tetapi anak Sultan Trenggana
bernama Pangeran Prawata dibunuh oleh anak Sekar Seda ing Lepen yang bernama
Arya Panangsang. Selanjutnya Arya
Panangsang dibunuh oleh Joko Tingkir (menantu Sultan Trenggana), dan kemudian
Joko Tingkir naik tahta dengan gelar Sultan Hadiwijaya yang kemudian
memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang (1568). Dengan tindakan ini maka habislah riwayat
kerajaan Demak.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Babad
Demak. Jakarta :
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Babad
Majapahit dan Para Wali.
Kartodirdjo,
Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
1500-1900. Jakarta :
PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Moedjianto.
1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya
oleh Raja-raja Mataram.
Yogyakarta: Kanisius.
Muljana,
Prof. Dr. Slamet. 2009. Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta :
PT. LKis.
Munoz,
Paul Michel. 2009. Kerajaan-kerajaan Awal
Kepulauan Indonesia
dan
Semenanjung Malaysia .
Yogyakarta : Mitra Abadi.
Purwadi.
2005. Babad Demak. Yogyakarta :
Tunas Harapan.
Purwadi.
2007. Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa
Klasik. Sumatra Utara: Pujakesuma.
Soeroto.
1975. Demak dan Pajang (± 1500-±1600).
Jakarta :
Sanggabuwono.
Suyono,
Capt. R. P. 2004. Peperangan Kerajaan di
Nusantara. Jakarta :
PT. Grasindo.
[1] Dr.
Purwadi, M. Hum.(2007). Sistem
Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik. Sumatra
Utara; Pujakesuma.
p. 234.
[2] Dr.
Purwadi, M. Hum. (2005). Babad Demak
(Sejarah Perkembangan Islam Di Tanah Jawa).
[4] Dr.
Purwadi, M. Hum. (2005). Babad Demak
(Sejarah Perkembangan Islam Di Tanah Jawa).
[5] Ibid., p. 415.