Cari Blog Ini

Minggu, 23 Juli 2017

Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak


            Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.  Pada masa sebelumnya daerah Demak bernama Bintoro yang merupakan vassal atau bawahan dari Kerajaan Majapahit.  Pendirian Kerajaan Demak mendapat bantuan dari para bupati daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah menganut agama Islam.
            Kerajaan Demak ini berdiri setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478, dengan di tandai candra sangkala: sirna ilang kertaning bumi yang berarti tahun 1400 Jawa.  Kerajaan Majapahit jatuh dikarenakan dua alas an yaitu karena kelemahan ekonomi serta keruntuhan dalam negeri sendiri. Redupnya Majapahit yang semula merupakan kerajaan besar itu disindir oleh para pujangga dengan kata-kata: Macan galak semune curiga kethul.[1]
            Kerajaan Demak di dirikan oleh Raden Patah yang kemudian bergelar Sultan Syah Alam Akbar I.  Berdirinya Kerajaan Demak ditandai dengan sengkalan: geni mati siniraman janma atau tahun 1403 Saka atau 1478 M, setelah mundurnya Prabu Brawijaya V dari tahta Kraton Majapahit dimana Raden Patah merupakan putra Prabu Brawijaya V dari istri selirnya yang seorang Putri Cina seperti yang dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi.[2]  Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Demak berkembang dengan pesat karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil bahan makanan sehingga terkenal menjadi kerajaan agraris-maritim.  Selain itu Kerajaan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan dan sebagai pusat penyebaran agam Islam.  Oleh karena itu, pada masa pemerintahannya dibangun masjid Demak yang proses pembangunan masjid itu dibantu oleh para wali atau sunan.
            Pada tahun 1513 Raden Patah memerintahkan Pati Unus memimpin pasukan Demak untuk menyerang Portugis di Malaka.  Serangan itu belum berhasil, karena pasukan Portugis jauh lebih kuat dan persenjataannya lengkap.  Atas usahanya itu Pati Unus mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor.
            Ketika Raden Patah wafat pada tahun 1518 M, Pati Unus menggantikannya sehingga bergelar Sultan Syah Alam Akbar II.  Ia memerintah Demak dari tahun 1518-1521 M.  Masa pemerintahan Pati Unus tidak begitu lama hanya tiga tahun karena ia meninggal dalam usia yang masih muda.  Walaupun usia pemerintahannya tidak begitu lama, namun namanya cukup dikenal sebagai panglima perang yang memimpin pasukan Demak menyerang Portugis di Malaka.
            Setelah Pati Unus meninggal tahta Kerajaan Demak dipegang oleh saudaranya yang bernama Sultan Trenggana karena Pati Unus tidak meninggalkan seorang putra mahkota.  Sultan Trenggana memerintah Demak dari tahun 1521 M.  Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Demak mencapai masa kejayaan.
            Dalam pemerintahannya Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya, ambisius dan melancarkan aksi militer mengalahkan semua pelabuhan independen di bagian utara jawa dan menghancurkan hampir semua kerajaan Hindu di Jawa.  Tindakan pertama Sultan Trenggana adalah mencegah orang Portugis membangun benteng di Jawa Barat untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati dengan Raja Pajajaran, Suliwangi.  Untuk memenuhi tujuannya tersebut dia mengijinkan Hasanuddin, anak Sunan Gunungjati untuk membawa 2000 orang dari Cirebon untuk menyerang Banten, sehingga pada tahun 1526 M kota tersebut bisa dikuasai.[3]
            Selain itu, Sultan Trenggana juga tidak kalah giatnya dari Pati Unus dan ayahnya untuk memperkokoh singgasana Demak dan menegakkan tiang-tiang agama Islam.  Seorang ulama terkemuka dari Pase bernama Fatahillah yang sempat tinggal glanggang colong payu dari kepungan orang-orang Portugis, diterima oleh Sultan Trenggana bahkan dikawinkan dengan adik Sang Raja sendiri dan ternyata ia adalah orang yang dapat melaksanakan maksud-maksud Sultan Trenggana.[4]
            Ekspedisi terakhir Sultan Trenggana terjadi pada tahun 1546-1547 M.  Itu adalah usaha kedua untuk merebut kota Panarukan yang masih dikuasai oleh gubernur balambangan, karena pada usaha yang pertama dimana dia terpaksa berhenti karena perlawanan sengit dari pasukan Balambangan, kerajaan Hindu terakhir yang tersisa di Jawa.  Selama aksi militer pada usaha yang kedua didukung oleh tentara bayaran Portugis itu, Fernao Mendes Pinto (1510-1583) menulis sebuah buku memoir yang terkenal, Peregrinacao.[5]  Tampaknya Panarukan adalah kelemahan Sultan Trenggana karena semua serangannya telah gagal dan sementara pengepungan terus berlangsung sehingga membuat temperamennya memburuk.  Suatu hari dia kehilangan kendali dan menghina salah satu punggawanya di depan umum yang membuat punggawa tersebut sakit hati, kemudian menikam Sultan Trenggana hingga tewas.
            Setelah wafatnya Sultan Trenggana terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Demak, antara anak dan kakek Trenggana.  Kakek Trenggana terbunuh di tepi sungai maka kemudian ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Sekar Seda ing Lepen.  Tetapi anak Sultan Trenggana bernama Pangeran Prawata dibunuh oleh anak Sekar Seda ing Lepen yang bernama Arya Panangsang.  Selanjutnya Arya Panangsang dibunuh oleh Joko Tingkir (menantu Sultan Trenggana), dan kemudian Joko Tingkir naik tahta dengan gelar Sultan Hadiwijaya yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang (1568).  Dengan tindakan ini maka habislah riwayat kerajaan Demak.
  



                                       
DAFTAR PUSTAKA


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Babad Demak. Jakarta: Departemen
       Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Babad Majapahit dan Para Wali.
       Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: PT.
       Gramedia Pustaka Utama.
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram.
       Yogyakarta: Kanisius.
Muljana, Prof. Dr. Slamet. 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
       Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT. LKis.
Munoz, Paul Michel. 2009. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan
       Semenanjung Malaysia. Yogyakarta: Mitra Abadi.
Purwadi. 2005. Babad Demak. Yogyakarta: Tunas Harapan.
Purwadi. 2007. Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik. Sumatra Utara: Pujakesuma.
Soeroto. 1975. Demak dan Pajang (± 1500-±1600). Jakarta: Sanggabuwono.
Suyono, Capt. R. P. 2004. Peperangan Kerajaan di Nusantara. Jakarta: PT. Grasindo.




[1] Dr. Purwadi, M. Hum.(2007). Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik. Sumatra Utara; Pujakesuma.
       p. 234.
[2] Dr. Purwadi, M. Hum. (2005). Babad Demak (Sejarah Perkembangan Islam Di Tanah Jawa).
       Yogyakarta; Tunas Harapan. p. 34.
[3] Paul Michel Munoz. (2009). Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia Indonesia dan Semenanjung
       Malaysia. Yogyakarta: Mitra Abadi. p. 413.
[4] Dr. Purwadi, M. Hum. (2005). Babad Demak (Sejarah Perkembangan Islam Di Tanah Jawa).
        Yogyakarta; Tunas Harapan. p. 45.
[5] Ibid., p. 415.