Cari Blog Ini

Minggu, 23 Juli 2017

EMANSIPASI DAN IBU KITA KARTINI

Emansipasi wanita tidak akan terwujud tanpa wanita yang cerdas. Dan emansipasi tersebut lahir sejak sang pejuang wanita Raden Ajeng Kartini mulai memahami kesetaraan gender. R.A. Kartini lahir di Jepara pada hari Senin tanggal 21 April 1879 dari pasangan Raden Mas Adipati Sosroningrat.
R.A. Kartini adalah anak kelima dari sebelas bersaudara. Kartini termasuk anak yang pandai dan suka belajar. Ia rajin membaca dan haus akan ilmu pengetahuan.[1]
R.A. Kartini makin hari makin bertambah besar dan dewasa pengetahuannya makin bertambah pula. Dengan membaca buku beliau mengetahui kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Belanda terhadap penduduk bumiputera (Indonesia). Selain itu Kartini prihatin atas nasib kaumnya karena sejak kecil gadis-gadis sudah dididik tentang bagaimana mereka harus berbakti kepada suaminya. Mereka harus menyerah dalam segala persoalan dan harus selalu sabar. Bahkan menurut adat pada waktu itu kedudukan wanita dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Pada umumnya, keadaan seperti ini diterima secara wajar oleh kaum wanita Indonesia. Mereka beranggapan bahwa apa yang diterimanya dari nenek moyangnya secara turun temurun itu adalah suatu hal yang wajar dan biasa.
Perjuangan Kartini dalam dunia pendidikan terjalin erat dengan perjuangan emansipasi kaum wanita.
Emansipasi kaum wanita. Maksudnya ialah suatu perjuangan dari kaum wanita untuk memperoleh persamaan hak dan kebebasan seperti kaum laki-laki. Perjuangan tentang emansipasi wanita ini pada umumnya dimulai sejak abad ke-19.[2]
Dalam hal pendidikan di sekolah Kartini menganjurkan agar diberi pendidikan modern. Kemudian Kartini pun mulai merintis pendirian “Sekolah Gadis”. Pendirian sekolah tersebut mendapatkan reaksi yang baik dari masyarakat.
Cita-cita pendirian “Sekolah Gadis” itu juga didukung oleh Mr. Abendanon, beliau adalah orang yang menyusun surat-surat Kartini yang kemudian diterbitkan. Mr. Abendanon adalah bekas Direktur Departemen Onderwijs, Eeredientst en Nijverheid.[3]
Akhirnya sekolah impian Kartini berdiri awalnya hanya ada satu murid kemudian delapan dan akhirnya makin bertambah banyak. Mata pelajaran yang diajarkan antara lain membaca, menulis, menjahit, merenda, dan memasak. Sehingga murid-muridnya tidak akan merasa terikat oleh pelajaran-pelajaran yang diberikan kepadanya, maklum saja karena murid-muridnya adalah para gadis bumiputera.
Berkat bimbingan dari Tuan Abendanon dan nasihat dari ayahnya, Kartini makin matang cara berpikirnya, terlebih untuk mewujudkan cita-citanya. Namun terjadilah perubahan pendiriannya, Kartini mula-mula ingin melanjutkan pelajarannya ke Negeri Belanda. Namun kemudian beliau membatalkannya dan berkeinginan belajar di sekolah guru Jakarta. Kemudian pendiriannya berubah lagi. Kartini beranggapan bahwa untuk mencapai cita-citanya beliau harus berada di sisi kaum lelaku. Untuk itulah ia menerima pinangan dari Raden Adipati Joyodiningrat. Raden adipati Joyodiningrat adalah seorang duda dan memiliki beberapa anak. Akan tetapi Kartini pun menerima untuk dijadikan istrinya. Akhirnya Kartini menikah pada tanggal 8 November 1903 dan langsung diboyong ke Rembang tempat suaminya tinggal.
Rembang adalah daerah yang memiliki potensi yang baik dalam bidang ukiran karena disana banyak terdapat jenis-jenis kayu yang bagus untuk diukir maka Kartini dan suaminya mengundang pengrajin ukiran dari Jepara untuk mengajari orang-orang Rembang mengukir. Kartini membuka bengkel ukir dan sekolah di kediaman barunya.
Akhirnya Kartini mengandung, namun beliau sering menderita sakit ditambah lagi beliau memiliki sakit ginjal. Hal itu menyebabkan pada waktu beliau akan melahirkan mengalami kesukaran. Tepat empat hari setelah Kartini melahirkan anak pertamanya yang diberi nama R.M. Susalit ia meninggal dunia tanggal 17 September 1904 diusia 25 tahun.
Melihat dampak luar biasa perjuangan Kartini itu. Tidak berlebihan bila Abendanon menulis akrostik Kartini sebagai berikut :

Kartini’s hart sloeg warm de toekomst tegen,
Aan ‘t garen van bloemen, haar zielgewijd,
Reikhalzend uit teedere droomen ontwakend,
Tot heil van heel haar zachte volk,
In lijden en strijden met velen verboden,
Na duisternis wijzend naar ‘schemerend licht,
In blij ontluikenden morgenstond.

(Hati Kartini merangkul hangat menyambut masa depan.
Jiwa direntangkan pada bau harum bebungaan.
Terbangun dari mimpi lembut.
Demi keagungan bangsanya yang halus.
Dalam derita dan perjuangan bersama.
Habis gelap menuju gemerlapnya terang.
Dalam bahagia menyambut datangnya pagi.)[4]

Demikian perjuangan Ibu Kita Kartini demi memperjuangkan martabat kaum wanita. Namun mengapa pada kenyataanya hingga tahun 2009 ini masih banyak hak-hak wanita yang dirampas?




Daftar Pustaka


Arbaningsih, Dri. (2005). Kartini Dari Sisi Lain: Melacak Pelikiran Kartini Tentang Emansipasi “Bangsa”. Jakarta : Kompas.
Buscam, Mia. (2005). Surat-surat Adik R.A. Kartini. Jakarta : Djambatan    
Pane, Armin. (2006). Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta : Balai Pustaka.
Rahayu, Ruth Indiah. (2008). Sejarah Perempuan Indonesia. Jakarta : Komunitas Bambu.
Sastroatmodjo, Suryanto. (2005). Tragedi Kartini. Yogyakarta : Narasi.
Sobadio, Haryanti. (1990). Kartini Pribadi Mandiri. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Soeroto, Siti Soemandari. (1979). Kartini Sebuah Biografi. Jakarta : Gunung Agung.
Soeroto, Siti Soemandari. (2001). Kartini Sebuah Biografi. Jakarta : Djambatan.
Susanto, Ready. (2008). Ensiklopedia Tokoh-tokoh Wanita Dari Mistikus Hingga Politikus. Bandung : Nuansa.
Tashadi .(1986). R.A. Kartini. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wongso, Soetomo S. Honggo. (1990). Perjuangan Wanita Sejagat Menuntut Hak Politik. Jakarta : Balai Pustaka.





[1] Tashadi. (1986). R.A. Kartini. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. P. 34
[2] Tashadi.(1986). R.A. Kartini. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. P. 72
[3] Suryanto Sastroatmodjo. (2005). Tragedi Kartini. Yogyakarta : Narasi. P. 76
[4] Dri Arbaningsih. (2005). Kartini dari Sisi Lain: Melatak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi “Bangsa”. Jakarta : Kompas. P. 48.