Emansipasi wanita tidak akan
terwujud tanpa wanita yang cerdas. Dan emansipasi tersebut lahir sejak sang
pejuang wanita Raden Ajeng Kartini mulai memahami kesetaraan gender. R.A.
Kartini lahir di Jepara pada hari Senin tanggal 21 April 1879 dari pasangan
Raden Mas Adipati Sosroningrat.
R.A. Kartini adalah anak
kelima dari sebelas bersaudara. Kartini termasuk anak yang pandai dan suka
belajar. Ia rajin membaca dan haus akan ilmu pengetahuan.[1]
R.A. Kartini makin hari makin
bertambah besar dan dewasa pengetahuannya makin bertambah pula. Dengan membaca
buku beliau mengetahui kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Belanda terhadap
penduduk bumiputera (Indonesia). Selain itu Kartini prihatin atas nasib kaumnya
karena sejak kecil gadis-gadis sudah dididik tentang bagaimana mereka harus
berbakti kepada suaminya. Mereka harus menyerah dalam segala persoalan dan
harus selalu sabar. Bahkan menurut adat pada waktu itu kedudukan wanita
dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Pada umumnya, keadaan seperti ini
diterima secara wajar oleh kaum wanita Indonesia. Mereka beranggapan bahwa apa
yang diterimanya dari nenek moyangnya secara turun temurun itu adalah suatu hal
yang wajar dan biasa.
Perjuangan Kartini dalam dunia
pendidikan terjalin erat dengan perjuangan emansipasi kaum wanita.
Emansipasi kaum wanita.
Maksudnya ialah suatu perjuangan dari kaum wanita untuk memperoleh persamaan
hak dan kebebasan seperti kaum laki-laki. Perjuangan tentang emansipasi wanita
ini pada umumnya dimulai sejak abad ke-19.[2]
Dalam hal pendidikan di
sekolah Kartini menganjurkan agar diberi pendidikan modern. Kemudian Kartini
pun mulai merintis pendirian “Sekolah Gadis”. Pendirian sekolah tersebut
mendapatkan reaksi yang baik dari masyarakat.
Cita-cita pendirian “Sekolah
Gadis” itu juga didukung oleh Mr. Abendanon, beliau adalah orang yang menyusun
surat-surat Kartini yang kemudian diterbitkan. Mr. Abendanon adalah bekas
Direktur Departemen Onderwijs, Eeredientst en Nijverheid.[3]
Akhirnya sekolah impian
Kartini berdiri awalnya hanya ada satu murid kemudian delapan dan akhirnya
makin bertambah banyak. Mata pelajaran yang diajarkan antara lain membaca,
menulis, menjahit, merenda, dan memasak. Sehingga murid-muridnya tidak akan
merasa terikat oleh pelajaran-pelajaran yang diberikan kepadanya, maklum saja
karena murid-muridnya adalah para gadis bumiputera.
Berkat bimbingan dari Tuan
Abendanon dan nasihat dari ayahnya, Kartini makin matang cara berpikirnya,
terlebih untuk mewujudkan cita-citanya. Namun terjadilah perubahan
pendiriannya, Kartini mula-mula ingin melanjutkan pelajarannya ke Negeri
Belanda. Namun kemudian beliau membatalkannya dan berkeinginan belajar di
sekolah guru Jakarta. Kemudian pendiriannya berubah lagi. Kartini beranggapan
bahwa untuk mencapai cita-citanya beliau harus berada di sisi kaum lelaku.
Untuk itulah ia menerima pinangan dari Raden Adipati Joyodiningrat. Raden
adipati Joyodiningrat adalah seorang duda dan memiliki beberapa anak. Akan
tetapi Kartini pun menerima untuk dijadikan istrinya. Akhirnya Kartini menikah
pada tanggal 8 November 1903 dan langsung diboyong ke Rembang tempat suaminya
tinggal.
Rembang adalah daerah yang
memiliki potensi yang baik dalam bidang ukiran karena disana banyak terdapat
jenis-jenis kayu yang bagus untuk diukir maka Kartini dan suaminya mengundang
pengrajin ukiran dari Jepara untuk mengajari orang-orang Rembang mengukir.
Kartini membuka bengkel ukir dan sekolah di kediaman barunya.
Akhirnya Kartini mengandung,
namun beliau sering menderita sakit ditambah lagi beliau memiliki sakit ginjal.
Hal itu menyebabkan pada waktu beliau akan melahirkan mengalami kesukaran.
Tepat empat hari setelah Kartini melahirkan anak pertamanya yang diberi nama
R.M. Susalit ia meninggal dunia tanggal 17 September 1904 diusia 25 tahun.
Melihat dampak luar biasa
perjuangan Kartini itu. Tidak berlebihan bila Abendanon menulis akrostik
Kartini sebagai berikut :
Kartini’s hart sloeg
warm de toekomst tegen,
Aan ‘t garen van
bloemen, haar zielgewijd,
Reikhalzend uit
teedere droomen ontwakend,
Tot heil van heel
haar zachte volk,
In lijden en strijden
met velen verboden,
Na duisternis wijzend
naar ‘schemerend licht,
In blij ontluikenden
morgenstond.
(Hati Kartini merangkul hangat
menyambut masa depan.
Jiwa direntangkan pada bau
harum bebungaan.
Terbangun dari mimpi lembut.
Demi keagungan bangsanya yang
halus.
Dalam derita dan perjuangan
bersama.
Habis gelap menuju gemerlapnya
terang.
Dalam bahagia menyambut
datangnya pagi.)[4]
Demikian perjuangan Ibu Kita
Kartini demi memperjuangkan martabat kaum wanita. Namun mengapa pada
kenyataanya hingga tahun 2009 ini masih banyak hak-hak wanita yang dirampas?
Daftar Pustaka
Arbaningsih,
Dri. (2005). Kartini Dari Sisi Lain:
Melacak Pelikiran Kartini Tentang Emansipasi “Bangsa”. Jakarta : Kompas.
Buscam, Mia. (2005). Surat-surat Adik
R.A. Kartini. Jakarta : Djambatan
Pane, Armin. (2006). Habis Gelap
Terbitlah Terang. Jakarta : Balai Pustaka.
Rahayu,
Ruth Indiah. (2008). Sejarah Perempuan
Indonesia. Jakarta : Komunitas Bambu.
Sastroatmodjo,
Suryanto. (2005). Tragedi Kartini. Yogyakarta
: Narasi.
Sobadio,
Haryanti. (1990). Kartini Pribadi
Mandiri. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Soeroto,
Siti Soemandari. (1979). Kartini Sebuah
Biografi. Jakarta : Gunung Agung.
Soeroto,
Siti Soemandari. (2001). Kartini Sebuah Biografi.
Jakarta : Djambatan.
Susanto, Ready.
(2008). Ensiklopedia Tokoh-tokoh Wanita
Dari Mistikus Hingga Politikus. Bandung : Nuansa.
Tashadi
.(1986). R.A. Kartini. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wongso,
Soetomo S. Honggo. (1990). Perjuangan
Wanita Sejagat Menuntut Hak Politik. Jakarta : Balai Pustaka.
[4] Dri Arbaningsih.
(2005). Kartini dari Sisi Lain: Melatak
Pemikiran Kartini tentang Emansipasi “Bangsa”. Jakarta : Kompas. P. 48.