Cari Blog Ini

Minggu, 23 Juli 2017

Gerakan Mahasiswa


   A.    Pergulatan Reformasi
Ernest Renan mengatakan bahwa bangsa adalah jiwa. Jiwa yang dapat memberikan mimpi dan semangat untuk mencapainya. Namun Indonesia tidak akan bisa bersatu menjadi sebuah bangsa jika tidak ada kehendak bersatu atau berkumpul. Apapun etnis, bahasa, agama dan kepercayaan, jika ada kehendak untuk bersatu maka bangsa Indonesia akan menjadi satu bangsa yang kokoh. Pada masa Orde Baru kehendak bersatu tidak lagi diangkat dari kehendak rakyat, namun dipaksakan oleh pemegang kekuasaan. Pemimpin kala itu membangun asumsi bahwa rakyat tidak mampu untuk bersatu karena keragamaannya, sehingga persatuan itu harus dipaksakan dengan penyeragaman. Puluhan tahun rakyat dianggap tidak mampu untuk bersatu.
Ketika pada tanggal 21 Mei 1998 masa Orde Baru runtuh dengan ditandai mundurnya presiden Soeharto, menjadi titik balik bagi dunia politik di Indonesia. Peristiwa politik yang secara hukum tata negara memicu kontroversi ini, menandakan berakhirnya rezim otoriter Orde Baru yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Hal ini juga menandakan dimulainya proses transisi demokrasi di Indonesia yang memberikan peluang untuk menata kembali kehidupan politik, ekonomi dan hukum[1]. Indonesia mulai memasuki masa yang penuh harapan sekaligus kecemasan. Sebuah harapan, dimana udara pengap sosial-politik dalam otoriterianisme Orde Baru telah berakhir.
Tumbangnya rezim pemerintahan otoriter Soeharto, menjadi puncak dari mata rantai perjuangan kekuatan-kekuatan pro-demokrasi di Indonesia yang sejak kemunculannya di era 80-an, menempatkan gerakan mahasiswa sebagai salah satu unsur kekuatannya[2]. Mahasiswa merupakan kekuatan politik yang tampaknya paling menonjol mengajukan tuntutan reformasi total dan mundurnya Soeharto. Sebagian besar pengamat dan ilmuwan sosial memberi penilaian bahwa gerakan mahasiswa telah berhasil meruntuhkan kekuasaan Soeharto. Bahkan ada penilaian yang memberi kesan bahwa gerakan mahasiswa adalah faktor dominan[3].
Reformasi yang didengungkan mahasiswa dalam berbagai aksi demontrasinya bukan sekedar tuntutan bagi perubahan dan perbaikan dari suatu krisis yang dihadapi Indonesia, tetapi juga menjadi pilihan jalan perjuangan menuju masyarakat demokratis. Dalam gelombang tuntutan perubahan berikutnya yang melibatkan berbagai unsur kekuatan sipil, jargon reformasi seperti telah menjadi kesepakatan bersama. Dalam konteks ini, mengkristalnya reformasi sebagai gagasan dan jargon perjuangan kelompok-kelompok pro-demokrasi di Indonesia pada tahun 1998, bisa dimaknai sebagai terbangunnya kesepakatan tak tertulis menjadikan reformasi sebagai jalan perjuangan bagi proses transisi demokrasi.
Transisi demokrasi pasca rezim otoriter Soeharto di tandai dengan era transisi rezim yang telah memunculkan rezim-rezim pemerintahan Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid dan pemerintahan Megawati hanya dalam renang waktu tiga tahun. Presiden Megawati setelah melewati satu tahun usia pemerintahannya, harus menghadapi gelombang demontrasi yang mengkritisi dan bahkan menentang pemerintahannya. Dalam peringatan 5 tahun reformasi yang digelar berbagai kelompok mahasiswa pada tanggal 21 Mei 2003 di berbagai kota besar, mereka memiliki tuntutan yang sama, yaitu turunnya pemerintahan Megawati.
Melewati tahun ke 5, reformasi dinilai banyak kalangan telah mengalami kemandegan. Bahkan dalam sebuah demontrasi mahasiswa di depan istana negara, mereka menyatakan “matinya reformasi” yang disimbolkan dengan mengubur tokoh-tokoh politik yang memiliki otoritas politik untuk mengusung agenda reformasi. Bahkan kalangan mahasiswa juga menilai reformasi sedang berubah menjadi proses konsolidasi rezim otoriter baru.
Pemilu yang digelar pada awal tahun 2004 dipandang secara skeptis oleh gerakan mahasiswa dan unsur-unsur pro demokrasi lainnya. Meskipun dalam masa pemerintahan Megawati, pemilu akan dilaksanakan pada petengahan 2004, namun berbagai aksi demontrasi sepanjang tahun 2003 tetap menuntut pemerintahan Mega-Hamzah untuk mundur. Hal ini merefleksikan tingkat ketidakpercayaan gerakan mahasiswa terhadap proses “demokrasi formal”[4].
Situasi kemandegan proses reformasi ini ternyata bukan saja menghasilkan tuntutan mundurnya pemerintahan Megawati, bahkan lebih jauh mencuatkan wacana revolusi, khususnya dikalangan mahasiswa. Munculnya wacana revolusi didasari semangat untuk mendorong dan memastikan perubahan demokratis berjalan secara lebih cepat dari yang ada. Jargon-jargon revolusi misalnya sangat kentara dalam terlihat dalam bebagai aksi mahasiswa sepanjang tahun 2003 dalam memprotes dan menentang pemerintahan Mega-Hamzah.
Ada beberapa kondisi yang melatarbelakangi bergairahnya kembali gerakan mahasiswa yang sebelumnya lama dalam keadaan tiarap akibat represi rezim[5]. Pertama, ekses dari karakter pendidikan politik yang tertutup dan kurang dialogis. Karakter pendidikan semacam ini merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya ketidakpuasaan dan kekecewaan politik di kalangan muda dan mahasiswa. Kedua, ekses dari politik pembangunan Orde Baru. Politik pembangunan merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya banyak pertanyaan tentang ketidakadilan. Kaum muda dan mahasiswa yang peduli terhadap kelompok masyarakat yang terpinggirkan akibat politik pembangunan terus melakukan kajian secara aktif dan intensif, turun ke jalan dan meneriakkan perlunya demokrasi ditumbuhkan. Ketiga, kegelisahan mahasiswa melihat kehendak stabilitas politik dan ekonomi Orde Baru yang begitu kuat dan menuntut biaya pendidikan sosial yang besar. Di tengah situasi seperti inilah, mahasiswa dipaksa untuk berpikir dan bersikap kritis terhadap kebijakan tersebut.
Ketiga faktor diatas mendorong munculnya berbagai kelompok studi, kelompok aksi yang menghimpun aspirasi politik mahasiswa dan berbagai LSM yang digerakkan oleh kalangan muda pro demokrasi. Dalam sejarah politik Indonesia, gerakan mahasiswa tahun 1997/1998 adalah yang paling menonjol menentang kekuasaan presiden Soeharto[6]. Bermula menuntut demokratisasi, penegakan HAM, pelaksanaan reformasi total, hingga meningkat pada pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden. Dari penghujung 1997 sampai Mei 1998, hampir setiap pekan terjadi gelombang demontrasi dari berbagai elemen atau kelompok mahasiswa di berbagai kota besar. Bentuk dan pola aksinya pun beragam, seperti demontrasi, mimbar bebas, dialog, audiensi, petisi, seminar, pawai dan sebagainya.
Hal lain yang menjadi karateristik gerakan mahasiswa 1998 adalah sifatnya yang berawal dari kelompok aksi. Berbeda dengan fase-fase sebelumnya, dimana gerakan mahasiswa Indonesia diwarnai oleh berbagai ormas kemahasiswaan seperti HMI, PMII, IMM, GMNI, PMKRI, dan lainnya, gerakan mahasiswa 1998 diwarnai dengan kemunculan kelompok aksi. Kelompok aksi ini memiliki keberagaman basis idelogi dan pengorganisasian gerakan, yang tidak terlepas dari iklim politik kampus. Prasentyantoko mengelompokkan mereka ke dalam kelompok aksi berbasis agama, kelompok aksi berbasis sekuler dan kelompok aksi mahasiswa dengan garis politik dan pengorganisasian ketat[7].
B.     Reformasi dan Demokratisasi
Perspektif standar dalam literatur demokrasi dewasa ini menyebutkan bahwa  demokratisasi bergerak dari pembusukan sebuah rezim otoriter, melewati masa transisi, menuju konsolidasi dan akhirnya menuju pematangan[8]. Atau dalam pemetaan Huntington, pada tingkatan paling sederhana, demokratisasi mensyaratkan tiga hal: berakhirnya sebuah rezim otoriter, dibangunnya sebuah rezim demokratis, dan pengkonsolidasian rezim demokratis itu[9].
Dengan mengacu pada pengalaman Indonesia dan membayangkan proses lanjutan dari demokratisasi yang seharusnya tejadi, terdapat empat tahapan proses demokratisasi[10]. Tahapan Pertama, berjalan sebelum keruntuhan rezim otoritarian atau totalitarian. Dalam tahapan ini, terjadi kombinasi di antara beberapa hal berikut: kritisisme dan perlawanan dari luar rezim terbangun semakin kuat, rezim mengalami perpecahan internal, angkatan bersenjata mengalami perpecahan atau perubahan orientasi politik, rezim menghadapi krisis ekonomi atau politik yang semakin sulit dikelolanya dan tuntutan perubahan semakin kuat. Tahapan ini disebut sebagai tahapan pratransisi.
Tahapan Kedua, terjadinya liberalisasi politik awal. Yang terjadi dalam tahap ini adalah: jatuhnya atau berubahnya rezim lama, meluasnya hak-hak politik rakyat, terjadinya ketidaktertataan pemerintahan, terbentuknya ketidak pastian dalam banyak hal dan terjadinya ledakan partisipasi politik. Biasanya tahapan ini ditutup dengan terjadinya pemilihan umum yang demokratis dan pergantian pemerintahan sebagai konsekuensi dari hasil pemilu.
Tahapan ketiga adalah transisi. Tahapan ini berlangsung dengan telah adanya pemerintahan atau pemimpin baru yang baru dengan legitimasi yang memadai dan kuat. Di bawah pemerintahan inilah dilakukan kembali penataan kembali seluruh perangkat, baik perangkat keras maupun lunak, yang menyokong system ekonomi, politik, dan sosial. Penataan perangkat keras meliputi: pergantian pelaku, tumbuhnya institusi atau lembaga-lembaga baru, perubahan dan pergantian aturan, serta perubahan atau pergantian mekanisme kerja politik, ekonomi, dan sosial. Sementara itu, perangkat lunak meliputi, cara berpikir (paradigma), pola perilaku, tabiat dan kebudayaan dalam masyarakat sudah mulai ditata. Penataan perangkat keras mungkin selesai dalam tahapan transisi ini, namun tidak demikian halnya dengan penataan perangkat lunak.
Tahapan keempat adalah konsolidasi demokrasi. Dalam tahapan ini, perangkat keras sudah tertata kembali dengan relatif baik, dan pemilihan umum berikutnya bisa diselenggarakan secara demokratis dan menghasilkan pemerintahan yang memiliki legitimasi makin kukuh. Konsolidasi demokrasi biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama karena juga harus menghasilkan perubahan perangkat lunak yang ditandai dengan telah terlihatnya perubahan atau perbaikan cara berpikir, pola perilaku, tabiat dan kebudayaan dalam masyarakat.
Dari perspektif penahapan diatas, pasca pemilihan umum 1999 yang menghasilkan pemerintahan duet Abdurrahman Wahid-Megawati, Indonesia memasuki tahapan transisi menuju demokrasi. Tahap pratransisi demokrasi dialami Indonesia sejak pertengahan 1990an ketika terjadi krisis moneter yang berkembang menjadi krisis multi dimensi. Puncak dari tahapan ini terjadi ketika gerakan mahasiswa menghebat semenjak minggu ketiga Februari 1998 hingga jatuhnya presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Selama masa pemerintahan Habibie, Indonesia mengalami tahapan liberalisasi politik tahap awal dengan segenap cirinya yang muncul pada masa itu.
Transisi dari pemerintahan non demokratis menuju pemerintahan demokratis merupakan sebuah proses yang kompleks dan melibatkan sejumlah tahapan. Pada kasus tipikal kontemporer, permulaan proses ditandai dengan terjadinya krisis dan akhirnya perpecahan dalam tubuh rezim non demokratis. Jika transisi menuju demokrasi diawali dengan kesadaran dari rezim otoriter bahwa mereka harus meninggalkan kekuasaannya, maka tahapan ini akan diakhiri dengan pembentukan sebuah pemerintahan baru berdasarkan pemilihan yang bebas. Namun, prosesnya tidak berakhir disitu. Rezim yang baru seringkali menjadi demokrasi yang terbatas, lebih demokratis dari pemerintahan sebelumnya, namun belum demokrasi sepenuhnya.
Proses transisi demokrasi mencakup tahap liberalisasi politik dan tahap demokratisasi, yang berlangsung secara gradual, liberalisasi lebih dahulu kemudian berlanjut kepada demokratisasi, atau secara bersama-sama dan sekaligus, atau bisa juga suatu transisi tanpa tahap demokratisasi sama sekali. Liberalisasi politik hanya mencakup perluasan serta perlindungan hak-hak dan kebebasan individu maupun kelompok dari kesewenangan negara atau pihak lain, tanpa perubahan struktur pemerintahan dan akuntabilitas penguasa terhadap rakyatnya. Sementara itu, demokratisasi harus mencakup perubahan struktur pemerintahan (yang otoriter) dan adanya pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat (yang sebelumnya tidak ada). Karena itu, proses transisi tidak selalu berakhir dengan konsolidasi demokrasi. Bisa saja suatu transisi demokrasi berlangsung tetapi hanya pada tingkat liberalisasi politik belaka, tanpa diikuti fase demokratisasi yang bermuara pada suatu konsolidasi.
Seperti dijelaskan sebelumnya, transisi dari pemerintahan non demokratis menuju pemerintahan demokratis merupakan sebuah proses yang kompleks dan melibatkan sejumlah tahapan. Kesulitan tahapan ini tidak lepas dari apa yang disebut Huntington sebagai masalah-masalah transisi yang muncul. Mengenai hal ini, Huntington menyebutkan: “masalah-masalah transisi muncul langsung dari fenomena perubahan rezim dari otoriterianisme ke demokrasi. Masalah-masalah ini meliputi masalah memapankan sistem konstitusi dan sistem pemilihan yang baru; menyingkirkan para pejabat yang pro otoriterisme dan menggantikan mereka dengan pejabat-pejabat yang demokratis; mencabut atau mengubah undang-undang yang tidak cocok untuk demokrasi; menghapus atau secara drastis mengubah badan-badan yang otoriter seperti polisi rahasia; dan pada sistem satu partai terdahulu, memisahkan hak milik, fungsi, dan personalia partai dengan hak milik, fungsi dan personalia pemerintah”[11].
Lebih lanjut Hunington menunjuk pada dua masalah transisi yang penting di banyak negeri adalah “masalah si penyiksa”, yaitu bagaimana memperlakukan pejabat-pejabat otoriter yang telah secara kasar melanggar hak-hak asasi manusia, dan “masalah praetorian”, yaitu bagaimana memperkecil keterlibatan militer dalam politik dan memantapkan suatu pola hubungan sipil-militer yang professional.
Selain masalah-masalah transisi di atas, Huntington juga menjelaskan masalah kontekstual. Masalah ini berasal dari watak masyarakat, perekonomian, budaya dan sejarahnya, serta dalam taraf tertentu bersifat endemik di negeri itu, apapun bentuk pemerintahannya. Dan masalah-masalah yang umum terjadi di negeri-negeri ddemokrasi gelombang ketiga antara lain adalah pemberontakan, konflik komunal, antagonisme regional, kemiskinan, ketimpangan sosial-ekonomi, inflasi, hutang luar negeri, dan laju pertumbuhan ekonomi yang rendah. Banyak kalangan seringkali menekankan bahaya masalah-masalah ini bagi pengkonsolidasian sstem demokrasi yang baru.
Mengenai konsolidasi demkrasi dikatakan bahwa konsolidasi dimulai ketika lembaga-lembaga dan tata pemerintahan yang baru sudah diorganisasikan dan mulai bekerja serta berinteraksi menurut aturan-aturan main yang baru pula. Suatu demokrasi yang terkonsolidasi dapat diartikan sebagai sebuah rezim politik dimana demokrasi berlaku sebagai sebuah kompleksitas dari sistem kelembagaan, aturan-aturan dan pola pemberian insentif dan disinsentif, sehingga terjadi satu-satunya aturan permainan di dalam kehidupan bersama.
Esensi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap, baik di tingkat elit maupun massa, yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Sementara itu, dalam konteks kasus Indonesia, secara sederhana dikatakan bahwa transisi menuju demokrasi yang dialami Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru mestinya bermuara pada konsolidasi demokrasi yang ditandai dengan adanya efektivitas pemerintahan, stabilitas politik, dan pulihnya kehidupan ekonomi.
Namun transisi demokrasi tidak selalu menghasilkan konsolidasi demokrasi. Rezim yang baru seringkali menjadi demokrasi yang terbatas, lebih demokratis daripada pemerintahan sebelumnya, namun belum demokratis sepenuhnya. Bahkan bisa saja terjadi krisis dan kemunduran, karena hasil dari perubahan rezim tidak selalu berupa demokrasi. Pola tipikal bagi banyak negara berkembang benar-benar memperhatikan langkah maju-mundur antara otoritarianisme dan demokrasi yang lemah[12].
Dari tipikal ini, kemudian dikembangkan konsep demokrasi beku, untuk menggambarkan suatu kondisi masyarakat di mana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Akibatnya, proses perubahan politik tidak menuju pada pembentukan tatanan sosial-politik yang demokratis, tetapi sangat dimungkinkan berjalan menyimpang atau bahkan berlawanan dengan arah yang dicita-citakan.
Ada empat indikator yang mendasari  beroperasinya konsep demokrasi beku, yaitu: sempoyongannya ekonomi baik pada tingkat nasional maupun lokal, mandegnya proses pembentukan masyarakat warga, konsolidasi sosial-politik yang tidak pernah mencapai soliditas namun cenderung semu, dan penyelesaian tidak tuntas terhadap masalah-masalah sosial-politik-hukum yang diwariskan oleh rezim-rezim terdahulu.
Kondisi inilah yang dikatakan sebagai tingkat “ketidakpastian” yang tinggal dalam transisi demokrasi. Kondisi ketidakpastian yang bisa menyebabkan maju mundurnya proses demokratisasi, atau bahkan yang terjadi adalah konsolidasi otoritarianisme. Kasus-kasus semacam inilah yang memunculkan gejala arus balik, yakni terjadinya proses penguatan kembali otoritarianisme atau totalitarianisme.
Salah satu jalan atau metode perubahan yang dilakukan sebuah rezim otoriter untuk mendemokratisasikan dirinya adalah dengan reformasi. Ini merupakan antitesa dari jalan revolusi, walaupun dalam prosesnya, reformasi bisa memiliki  kaitan dengan revolusi. Huntington mendefinisikan reformasi sebagai perubahan yang terbatas dalam hal cakupan dan moderat dalam laju kepemimpinan, kebijakan dan pranata-pranata politik[13].
Dalam konteks perubahan politik di Indonesia, reformasi sebagai proses perubahan atau perombakan sistem nilai dan tatanan lama yang dianggap keliru[14]. Perubahan itu setidaknya harus mencakup beberapa substansi dasar, antara lain: kekuasaan mengalami desakralisasi, pembangunan mengalami proses demitologisasi, Orde Baru mengalami degradasi kredibilitas, hak dan kewajiban rakyat mengalami redefinisi, sejarah mengalami reinterpretasi, pemerintahan melemah dan seolah-olah dilemahkan, dan informasi mengalami pluralisasi.
Dengan ketujuh indikator diatas, reformasi di Indonesia adalah sesuatu yang masih berlangsung dan akan terus berlangsung. Proses ini sangat mungkin memunculkan tingkat kesulitan yang kompleks, setidaknya  karena tiga kondisi yang menyertai proses reformasi itu. Pertama, proses reformasi saat ini belum tentu mengarah pada perbaikan-perbaikan yang sepenuhnya positif. Bisa saja proses reformasi itu justru menghasilkan distorsi-distorsi baru. Kedua, reformasi berlangsung pada saat belum adanya alternatif baru. Ketiga, reformasi yang belum selesai saat ini masih akan terus ditandai oleh perkembangan demi perkembangan.
Mengenai masalah kesulitan proses reformasi, dalam analisisnya, Huntington menegaskan adanya tingkat kesulitan yang tinggi dari jalan reformasi[15]. Tingkat kesulitan ini membuat prosesnya jauh lebih lama dari pada jalan revolusi. Kesuksesan reformasi juga sangat ditentukan oleh pilihan-pilihan strategi yang dijalankan rezim penguasa dan agen-agen reformasi. Dala prakteknya ada tiga hal yang dihadapi oleh agen reformasi: 1) perjuangan mereka bersisi ganda, yaitu menghadapi kelompok-kelompok konservatif dan revolusioner, 2) para agen reformasi tidak hanya harus lebih ahli dalam menggerakkan dan mendayagunakan kekuatan-kekuatan sosial, tetapi juga harus lebih berpengalaman dalam mengendalikan perubahan sosial. Reformasi bertujuan untuk satu perubahan dan bukan perubahan total, yakni perubahan gradual, bukan perubahan mendadak, dan 3) masalah prioritas dan alternatif antar perbedaan tipe-tipe reformasi jauh lebih akut.
Dengan menganalisis sejarah perubahan politik di Eropa Barat dapat dibuktikan, bahwa reformasi bukannya akan meningkatkan stabilitas, melainkan instabilitas bahkan akan melahirkan revolusi itu sendiri. Reformasi bisa menjadi katalisator revolusi ketimbang substitusi. Menurut kesimpulan Huntington, sudah terbukti bahwa pada sejumlah kasus, ketika rezim melancarkan reformasi dan memberi jaminan konsesi untuk terus melakukan perubahan, ia pasti akan menghadapi bola salju gerakan revolusi.
Impact reformasi atas probabilitas revolusi tergantung atas komposisi sosial berbagai kelompok-kelompok yang potensial revolusioner. Dua kelompok penting disini adalah intelektual kelas menengah perkotaan dan kaum tani pedesaan. Kedua kelompok ini berikut tuntutan mereka, memiliki perbedaan mendasar. Akibatnya, reformasi bagi kelas menengah perkotaan merupakan katalisator revolusi, sementara bagi kaum tani pedesaan, reformasi merupakan substitusi revolusi.
Oposisi intelektual perkotaan terhadap penguasa merupakan ciri berkesinambungan, bukan saja dalam masyarakat praetorian, tetapi juga hampir di semua tipe masyarakat negara berkembang. Di tengah-tengah masyarakat praetorian, para mahasiswa merupakan kekuatan politik kelas menengah yang paling penting dan aktif. Dalam masyarakat Pretoria, peluang mereka melancarkan aksi politik langsung dibatasi oleh kokohnya pranata-pranata politik yang berlaku dan konsep legitimasi yang valid. Pertentangan mahasiswa atas penguasa menggambarkan sindrom oposisi kelas menengah yang ekstrim, sebab ia bersifat konstan.
Berbeda dari intelektual perkotaan, kaum tani menjadi revolusioner ketika kebutuhan pokok mereka berubah, seperti; keamanan pribadi, aturan sewa menyewa yang berlaku, ketenagakerjaan, pajak-pajak, dan harga-harga barang kebutuhan rutin sudah sedemikian parahnya. Sepanjang sejarah, revolusi kaum tani selalu ditujukan guna menghapus kebengisan dan penindasan. Faktor kekecewaan material para petani merupakan masalah krusial dalam menyediakan alternatif revolusi. Tidak ada pemerintah yang dapat memuaskan tuntutan para perusuh. Tetapi pemerintah dapat saja mempengaruhi kondisi hidup di pedesaan sehingga memperkecil propensitas revolusi kaum tani. Bila reformasi dapat berfungsi sebagai katalisator revolusi di perkotaan, maka reformasi juga bisa menjadi substitusi bagi revolusi di pedesaan.
C.    Gerakan Mahasiswa Sebagai Kelompok Aksi Demokrasi
Salah satu aspek pemabahasan penting dalam wacana demokratisasi adalah peran kekuatan-kekuatan oposisi yang ada di tengah-tengah masyarakat sipil. Ketika membicarakan tentang reformasi, Huntington secara jelas menyebutkan peran intelektual perkotaan sebagai kekuatan oposisi yang paling penting, aktif dan cenderung permanen. Dalam kasus Indonesia, mahasiswa telah berpartisipasi penting dalam setiap perubahan penting dalam sejarah politik Indonesia. Organisasi-organisasi mahasiswa mendukung kenaikan Soeharto menuju kekuasaan, tetapi sejak awal 1970-an aktivisme mahasiswa telah diarahkan untuk menentang rezim Orde Baru.
Pada akhir 1980, sebuah gelombang baru demontrasi mahasiswa dimulai. Demokrasi dan hak asasi manusia merupakan tema lazim bagi gerakan protes mahasiswa. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan mahasiswa tahun 1997/1998 adalah yang paling menentang kekuasaan Soeharto. Bermula dari menuntut demokratisasi, penegakan HAM, pelaksanaan reformasi total, hingga meningkat pada pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden. Dari penghujung 1997 sampai mei 1998, hampir setiap pekan terjadi gelombang demontrasi dari berbagai elemen atau kelompok mahasiswa di berbagai kota besar. Bentuk dan pola aksinya pun beragam, seperti demontrasi, mimbar bebas, dialog, audiensi, seminar, pawai, dan sebagainya. Peran ini berlanjut terus dengan mengkritisi rezim-rezim transisi yang muncul kemudian hingga tahun 2003, saat Megawati menjadi presiden pasca Soeharto.
Ada dua jenis peran yang dijalankan gerakan mahasiswa sepanjang proses reformasi[16]. Peran pertama sejak maraknya aksi demontrasi mahasiswa pada awal 98 hingga jatuhnya Soeharto, yaitu sebagai gerakan moral. Konsep gerakan moral bagi gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah konsep yang menganggap gerakan mahasiswa hanyalah merupakan kekuatan pendobrak, ketika terjadi kemacetan dalam sistem politik. Sesudah pendobrakan dilakukan, langkah berikutnya adalah tugas kekuatan-kekuatan politik yang ada, dalam hal ini partai-partai atau organisasi-organisasi politik yang lebih mapan, untuk melakukan pembenahan. Peran kedua dijalankan sejak kejatuhan Soeharto dan munculnya pemerintahan transisi baru. Arbi Sanit menekankan pada peran politik mahasiswa yang tidak lagi sebatas pada gerakan moral, tetapi mengembangkan aksi-aksi politik melalui kerjasama dengan berbagai unsur kekuatan oposisi untuk melanjutkan proses perubahan.
Uhlin lebih jauh mengkategorikan kelompok-kelompok mahasiswa yang sejak awal tahun 80-an menentang rezim Orde Baru sebagai kekuatan oposisi[17]. Ia menempatkan oposisi mahasiswa ini sebagai salah satu dari empat kekuatan oposisi, yaitu: 1) kelompok LSM senior, 2) pembangkang di tubuh elit, 3) aktivis kemahasiswaan, dan 4) generasi baru LSM pro-demokrasi. Namun dalam bahasannya, Uhlin tidak menyorot kerjasama politik yang terjadi antara kelompok oposisi mahasiswa dengan kelompok oposisi lainnya. Hal inilah yang kemudian di gagas oleh Arni Sabit, yaitu perlunya kelompok mahsiswa menjalankan peran oposisi bersama-sama dengan kekuatan oposisi lainnya untuk memastikan terbangunnya sebuah sistem politik baru yang demokratis.
Lebih jauh Arbi mengajukan argumentasinya, “sebab penting disadari, bahwa keberhasilan menumbangkan sistem totaliter tidak berarti jalan lempang bagi restrukturisasi politik dan sosial. Justru rekonstruksi masyarakat pasca revolusi, akan dipenuhi oleh kontadiksi-kontradiksi, ironi-ironi dan permasalahan-permasalahan sosial-politik yang tak terbayangkan sebelumnya. Kecemasan akan kembalinya tampuk kekuasaan pada kelompok konservatif dan melemahnya perlawanan dari massa rakyat adalah bukti kompleksitas persoalan yang dihadapi mahasiswa saat sekarang. Menjelang dan sesudah pemilu, gerakan mahasiswa perlu untuk menyiapkan serangkaian proses cetak biru perubahan yang akan menempatkan posisi tawar gerakan mahasiswa dengan kekuasaan”[18].
D.    Pentingnya Kelompok Aksi
Ada beberapa kunci yang harus dimainkan kekuatan oposisi dalam memperjuangkan demokratisasi. Pertama, resistensi terhadap intergrasi , yaitu kemampuan oposisi untuk menjaga independensi ideologi, politik, budaya dan institusinya sehingga tidak terkooptasi oleh rezim otoriterian. Dengan independensi inilah, mereka bisa menjalankan peran oposisinya. Kedua, mengamankan wilayah otonomi, yaitu penegasan batasan-batasan partisipasi kekuatan oposisi di dalam sistem dan partisipasinya di luar sistem. Tantangan yang signifikan bagi pemerintahan otoriter biasanya muncul dari institusi-institusi yang ada pada daerah abu-abu, dimana dalam situasi krisis dan kebebasan, mereka bisa dengan cepat menjadi kekuatan-kekuatan oposisi.
Ketiga, mempertunjukkan legitimasi rezim otoriter, yaitu melemahkan hegemoni kekuasaan, sehingga basis koersi yang digunakannya menjadi tampak. Keempat, meningkatkan biaya pemerintahan otoriter, yaitu menjadikan penguasa harus membayar mahal dari upayanya menjaga kekuasaan. Semakin mahal biaya untuk menjaga kekuasaan, semakin terbuka pintu bagi demokratisasi. Kelima, mendorong menurunnya tingkat ketakutan, yaitu upaya oposisi meyakinkan masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan politik. Keenam, menciptakan alternatif-alternatif demokrasi yang kredibel. Seringkali keberadaan dan keberlangsungan rezim otoriter disebabkan ketiadaan gagasan-gagasan alternatif baru bagi perubahan. Oleh karena itu, oposisi harus menghimpun sebanyak-banyaknya unsur anti otoriterian dan merumuskan gagasan-gagasan alternatif yang disepakati bersama. Dalam proses transisi rezim, seringkali kekuatan oposisi berperan penting bagi kejatuhan rezim, tetapi tidak selalu dengan mudah mereka mengambil alih kekuasaan baru. Kasus semacam ini biasanya terjadi dalam proses transisi dengan jalan transformation atau transplacement.
Dalam perspektif Haynes, kekuatan-kekuatan kelompok oposisi inilah yang dikategorikan sebagai “kelompok aksi” yang merefleksikan upaya masyarakat di bawah untuk menyuarakan dan mengejar apa yang mereka pandang sebagai kepentingan mereka melalui usaha kolektif[19]. Meskipun sangat beragam, apa yang menjadi persamaan dalam perjuangan adalah bahwa sering mereka itu di luar pengendalian negara atau partai politik yang telah melembaga.
Haynes menjelaskan, penggunaan istilah “kelompok aksi” didasari beberapa alasan. Pertama, mereka adalah kelopok yang mempunyai ciri suatu keinginan untuk mencapai tujuan melalui aktivitas mereka sendiri. Kedua, para anggota memandang dirinya sendiri sebagai bagian dari suatu kelompok karena mereka terkait dengan keadaan yang serupa. Ketiga, mereka itu sering secara sadar mengaitkan perjuangan pribadi mereka pada penciptaan masyarakat yang lebih demokratis dan adil.
Dalam perspektif politik, tuntutan akan demokrasi juga mendorong dibentuknya kelompok aksi. Sering dinyatakan, bahwa mobilisasi untuk protes kian meninggi di Dunia Ketiga pada awal decade 1980-an dibanding dekade-dekade sebelumnya. Hal ini diantaranya dikarenakan iklim politik yang dihasilkan dari tuntutan demokrasi membantu memberikan ‘ruang’ bagi kelompok aksi untuk menyusun barisannya, memobilisasi dan menuntut perubahan. Di sisi lain, apa yang disebut Haynes sebagai ‘demokrasi formal’ (menyangkut pemilihan umum secara teratur tetapi kekuasaan sedikit banyak tetap berada di tangan yang sama) ikut membantu memberikan dorongan terbentuknya kelompok aksi, khususnya di kelompok-kelompok yang beranggapan bahwa mereka tidak dapat mendapatkan manfaat dari bentuk demokrasi semacam itu.
Sepanjang dekade 90-an, Haynes mencatat terjadinya ledakan-ledakan politik yang dilakukan dilakukan berbagai kelompok aksi. Hal yang dicatat adalah adanya ciri sesuatu yang baru: kecenderungan untuk menolak kekuasaan yang dilaksanakan tanpa konsultasi atau tanggung jawab dan menuntut pembagian yang layak dalam hal sumber daya bagi semua orang. Ada tiga hal yang menyebabkan ledakan anti sistem yang demikian itu. Pertama, terdapat perasaan terasing dari penguasa, dengan tanggapan yang berbeda-beda dan secara politis ambivalen. Hal ini khususnya tampak diantara kaum muda, terutama mahasiswa. Kedua, terdapat penolakan yang luas untuk menerima keputusan dari kelompok yang sedang memegang kekuasaan, baik yang dipilih secara demokratis atau tidak, karena elit penguasa sering dipandang berada di luar jangkauan perasaan dan aspirasi rakyat jelata yang seharusnya dibawa oleh demokrasi untuk menaikkan tingkat keterwakilan dan pengaruh kemasyarakatan. Ketiga, kesulitan sosial dan ekonomi merupakan akar dari keberadaan aksi politik kelompok. Juga problem sangat berat di kebanyakan kota yang tumbuh dengan cepat di dunia ketiga. Di sebuah dunia yang urbanisasinya cepat, harga bahan bakar, perumahan, makanan, dan air meningkat, seiring dengan keadaan lingkungan di kota yang semakin memburuk.
Singkatnya, menurut Haynes, pentingnya kelompok aksi secara politik berasal dari: 1) aneka tanggapan terhadap tidak adanya pembangunan dan pemberdayaan, 2) tuntutan untuk mengurangi pengaruh negara, 3) kemerosotan ekonomi, dan 4) tersebarnya tuntutan atas hal yang ‘nyata’ (yang oleh Haynes disebut sebagai demokrasi substantif. Jadi pentingnya kelompok aksi secara politis adalah bahwa secara kolektif mereka menantang status quo yang biasanya di dominasi oleh minoritas elit.



Daftar Pustaka
Budiman, Arief, et.all (2000). Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia. Jakarta:    BIGRAF Publishing.
Fatah, Eep Saefullah (1998), Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fatah, Eep Saefullah (2000). Zaman Keemasan;Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan.
Harahap, Muchtar, et.all (1999). Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia. Jakarta: NSEAS.
Haris, Sayamsudin (1999). Transisi Demokrasi; Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999. Jakarta. KIPP.
Haynes, Jeff (2000). Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Huntington, Samuel. P (1983). Tertib Politik di dalam Masyarakat yang sedang Berubah. Jakarta: Penerbit Rajawali.
Huntington, Samuel. P (1997). Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Grafiti Press.
Prasentyatoko, et. all. (2001). Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta. YHDS.
Sanit, Arbi (1999). Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist.
Sorensen, Georg (2003). Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang sedang Berubah. Jakarta: Pustaka Pelajar dan CCSS.
Uhlin, Anders (1998). Oposisi Bergerak; Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung. Penerbit Mizan.




[1] Sayamsudin Haris, Transisi Demokrasi; Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999. Jakarta. KIPP. 1999. Hal 17
[2] Anders Uhlin, Oposisi Bergerak; Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung. Penerbit Mizan. 1998. Hal 108-113.
[3] Prasentyatoko, et. all., Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta. YHDS. 2001. Hal 1
[4] Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2000. Hal 137-139.
[5] Eep Saefullah Fatah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998. Hal 276-278.
[6] Muchtar Harahap, et.all, Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia. Jakarta: NSEAS. 1999. Hal 9.
[7] Prasentyatoko, et. all., Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta. YHDS. 2001. Hal 9.
[8] Arif Budiman, et.all,Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia. Jakarta: BIGRAF Publishing. 2000. Hal 87-116.
[9] Samuel. P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Grafiti Press. 1997. Hal 45.
[10] Eep Saefullah Fatah, Zaman Keemasan;Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan. 2000. Hal xxxviii-xli.
[11] Samuel. P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Grafiti Press. 1997. Hal 272.
[12] Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang sedang Berubah. Jakarta: Pustaka Pelajar dan CCSS. 2003. Hal 42-107.
[13] Samuel. P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat yang sedang Berubah. Jakarta: Penerbit Rajawali. 1983. Hal 531.
[14] Eep Saefullah Fatah, Zaman Keemasan;Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan. 2000. Hal xxix-xxxiv.
[15] Samuel. P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat yang sedang Berubah. Jakarta: Penerbit Rajawali. 1983. Hal 531.

[16] Arbi sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist. 1999. Hal 218.
[17] Anders Uhlin, Oposisi Bergerak; Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung. Penerbit Mizan. 1998. Hal 89-126.
[18] Arbi sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist. 1999. Hal 218.
[19] Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2000. Hal 1-41.