A. Pergulatan Reformasi
Ernest Renan mengatakan bahwa bangsa adalah jiwa.
Jiwa yang dapat memberikan mimpi dan semangat untuk mencapainya. Namun
Indonesia tidak akan bisa bersatu menjadi sebuah bangsa jika tidak ada kehendak
bersatu atau berkumpul. Apapun etnis, bahasa, agama dan kepercayaan, jika ada
kehendak untuk bersatu maka bangsa Indonesia akan menjadi satu bangsa yang
kokoh. Pada masa Orde Baru kehendak bersatu tidak lagi diangkat dari kehendak
rakyat, namun dipaksakan oleh pemegang kekuasaan. Pemimpin kala itu membangun
asumsi bahwa rakyat tidak mampu untuk bersatu karena keragamaannya, sehingga
persatuan itu harus dipaksakan dengan penyeragaman. Puluhan tahun rakyat dianggap
tidak mampu untuk bersatu.
Ketika pada tanggal 21 Mei 1998 masa Orde
Baru runtuh dengan ditandai mundurnya presiden Soeharto, menjadi titik balik
bagi dunia politik di Indonesia. Peristiwa politik yang secara hukum tata
negara memicu kontroversi ini, menandakan berakhirnya rezim otoriter Orde Baru
yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Hal ini juga menandakan dimulainya proses
transisi demokrasi di Indonesia yang memberikan peluang untuk menata kembali
kehidupan politik, ekonomi dan hukum[1].
Indonesia mulai memasuki masa yang penuh harapan sekaligus kecemasan. Sebuah
harapan, dimana udara pengap sosial-politik dalam otoriterianisme Orde Baru
telah berakhir.
Tumbangnya rezim pemerintahan otoriter
Soeharto, menjadi puncak dari mata rantai perjuangan kekuatan-kekuatan
pro-demokrasi di Indonesia yang sejak kemunculannya di era 80-an, menempatkan
gerakan mahasiswa sebagai salah satu unsur kekuatannya[2].
Mahasiswa merupakan kekuatan politik yang tampaknya paling menonjol mengajukan
tuntutan reformasi total dan mundurnya Soeharto. Sebagian besar pengamat dan
ilmuwan sosial memberi penilaian bahwa gerakan mahasiswa telah berhasil
meruntuhkan kekuasaan Soeharto. Bahkan ada penilaian yang memberi kesan bahwa
gerakan mahasiswa adalah faktor dominan[3].
Reformasi yang didengungkan mahasiswa
dalam berbagai aksi demontrasinya bukan sekedar tuntutan bagi perubahan dan
perbaikan dari suatu krisis yang dihadapi Indonesia, tetapi juga menjadi
pilihan jalan perjuangan menuju masyarakat demokratis. Dalam gelombang tuntutan
perubahan berikutnya yang melibatkan berbagai unsur kekuatan sipil, jargon
reformasi seperti telah menjadi kesepakatan bersama. Dalam konteks ini,
mengkristalnya reformasi sebagai gagasan dan jargon perjuangan
kelompok-kelompok pro-demokrasi di Indonesia pada tahun 1998, bisa dimaknai
sebagai terbangunnya kesepakatan tak tertulis menjadikan reformasi sebagai
jalan perjuangan bagi proses transisi demokrasi.
Transisi demokrasi pasca rezim otoriter
Soeharto di tandai dengan era transisi rezim yang telah memunculkan rezim-rezim
pemerintahan Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid dan pemerintahan Megawati
hanya dalam renang waktu tiga tahun. Presiden Megawati setelah melewati satu
tahun usia pemerintahannya, harus menghadapi gelombang demontrasi yang
mengkritisi dan bahkan menentang pemerintahannya. Dalam peringatan 5 tahun
reformasi yang digelar berbagai kelompok mahasiswa pada tanggal 21 Mei 2003 di
berbagai kota besar, mereka memiliki tuntutan yang sama, yaitu turunnya
pemerintahan Megawati.
Melewati tahun ke 5, reformasi dinilai
banyak kalangan telah mengalami kemandegan. Bahkan dalam sebuah demontrasi
mahasiswa di depan istana negara, mereka menyatakan “matinya reformasi” yang
disimbolkan dengan mengubur tokoh-tokoh politik yang memiliki otoritas politik
untuk mengusung agenda reformasi. Bahkan kalangan mahasiswa juga menilai
reformasi sedang berubah menjadi proses konsolidasi rezim otoriter baru.
Pemilu yang digelar pada awal tahun 2004
dipandang secara skeptis oleh gerakan mahasiswa dan unsur-unsur pro demokrasi
lainnya. Meskipun dalam masa pemerintahan Megawati, pemilu akan dilaksanakan
pada petengahan 2004, namun berbagai aksi demontrasi sepanjang tahun 2003 tetap
menuntut pemerintahan Mega-Hamzah untuk mundur. Hal ini merefleksikan tingkat
ketidakpercayaan gerakan mahasiswa terhadap proses “demokrasi formal”[4].
Situasi kemandegan proses reformasi ini
ternyata bukan saja menghasilkan tuntutan mundurnya pemerintahan Megawati,
bahkan lebih jauh mencuatkan wacana revolusi, khususnya dikalangan mahasiswa.
Munculnya wacana revolusi didasari semangat untuk mendorong dan memastikan
perubahan demokratis berjalan secara lebih cepat dari yang ada. Jargon-jargon
revolusi misalnya sangat kentara dalam terlihat dalam bebagai aksi mahasiswa
sepanjang tahun 2003 dalam memprotes dan menentang pemerintahan Mega-Hamzah.
Ada beberapa kondisi yang
melatarbelakangi bergairahnya kembali gerakan mahasiswa yang sebelumnya lama
dalam keadaan tiarap akibat represi rezim[5]. Pertama, ekses dari karakter pendidikan
politik yang tertutup dan kurang dialogis. Karakter pendidikan semacam ini
merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya ketidakpuasaan dan kekecewaan politik
di kalangan muda dan mahasiswa. Kedua,
ekses dari politik pembangunan Orde Baru. Politik pembangunan merupakan lahan
yang subur bagi tumbuhnya banyak pertanyaan tentang ketidakadilan. Kaum muda
dan mahasiswa yang peduli terhadap kelompok masyarakat yang terpinggirkan
akibat politik pembangunan terus melakukan kajian secara aktif dan intensif,
turun ke jalan dan meneriakkan perlunya demokrasi ditumbuhkan. Ketiga, kegelisahan mahasiswa melihat
kehendak stabilitas politik dan ekonomi Orde Baru yang begitu kuat dan menuntut
biaya pendidikan sosial yang besar. Di tengah situasi seperti inilah, mahasiswa
dipaksa untuk berpikir dan bersikap kritis terhadap kebijakan tersebut.
Ketiga faktor diatas mendorong munculnya
berbagai kelompok studi, kelompok aksi yang menghimpun aspirasi politik
mahasiswa dan berbagai LSM yang digerakkan oleh kalangan muda pro demokrasi.
Dalam sejarah politik Indonesia, gerakan mahasiswa tahun 1997/1998 adalah yang
paling menonjol menentang kekuasaan presiden Soeharto[6].
Bermula menuntut demokratisasi, penegakan HAM, pelaksanaan reformasi total,
hingga meningkat pada pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden. Dari
penghujung 1997 sampai Mei 1998, hampir setiap pekan terjadi gelombang
demontrasi dari berbagai elemen atau kelompok mahasiswa di berbagai kota besar.
Bentuk dan pola aksinya pun beragam, seperti demontrasi, mimbar bebas, dialog, audiensi,
petisi, seminar, pawai dan sebagainya.
Hal lain yang menjadi karateristik
gerakan mahasiswa 1998 adalah sifatnya yang berawal dari kelompok aksi. Berbeda
dengan fase-fase sebelumnya, dimana gerakan mahasiswa Indonesia diwarnai oleh
berbagai ormas kemahasiswaan seperti HMI, PMII, IMM, GMNI, PMKRI, dan lainnya,
gerakan mahasiswa 1998 diwarnai dengan kemunculan kelompok aksi. Kelompok aksi
ini memiliki keberagaman basis idelogi dan pengorganisasian gerakan, yang tidak
terlepas dari iklim politik kampus. Prasentyantoko mengelompokkan mereka ke
dalam kelompok aksi berbasis agama, kelompok aksi berbasis sekuler dan kelompok
aksi mahasiswa dengan garis politik dan pengorganisasian ketat[7].
B. Reformasi dan Demokratisasi
Perspektif standar dalam literatur demokrasi dewasa
ini menyebutkan bahwa demokratisasi
bergerak dari pembusukan sebuah rezim otoriter, melewati masa transisi, menuju
konsolidasi dan akhirnya menuju pematangan[8].
Atau dalam pemetaan Huntington, pada tingkatan paling sederhana, demokratisasi
mensyaratkan tiga hal: berakhirnya sebuah rezim otoriter, dibangunnya sebuah
rezim demokratis, dan pengkonsolidasian rezim demokratis itu[9].
Dengan mengacu pada pengalaman Indonesia dan
membayangkan proses lanjutan dari demokratisasi yang seharusnya tejadi,
terdapat empat tahapan proses demokratisasi[10]. Tahapan Pertama, berjalan sebelum keruntuhan rezim otoritarian atau
totalitarian. Dalam tahapan ini, terjadi kombinasi di antara beberapa hal
berikut: kritisisme dan perlawanan dari luar rezim terbangun semakin kuat,
rezim mengalami perpecahan internal, angkatan bersenjata mengalami perpecahan
atau perubahan orientasi politik, rezim menghadapi krisis ekonomi atau politik
yang semakin sulit dikelolanya dan tuntutan perubahan semakin kuat. Tahapan ini
disebut sebagai tahapan pratransisi.
Tahapan Kedua,
terjadinya liberalisasi politik awal. Yang terjadi dalam tahap ini adalah:
jatuhnya atau berubahnya rezim lama, meluasnya hak-hak politik rakyat,
terjadinya ketidaktertataan pemerintahan, terbentuknya ketidak pastian dalam
banyak hal dan terjadinya ledakan partisipasi politik. Biasanya tahapan ini
ditutup dengan terjadinya pemilihan umum yang demokratis dan pergantian
pemerintahan sebagai konsekuensi dari hasil pemilu.
Tahapan ketiga
adalah transisi. Tahapan ini berlangsung dengan telah adanya pemerintahan atau
pemimpin baru yang baru dengan legitimasi yang memadai dan kuat. Di bawah
pemerintahan inilah dilakukan kembali penataan kembali seluruh perangkat, baik
perangkat keras maupun lunak, yang menyokong system ekonomi, politik, dan
sosial. Penataan perangkat keras meliputi: pergantian pelaku, tumbuhnya
institusi atau lembaga-lembaga baru, perubahan dan pergantian aturan, serta
perubahan atau pergantian mekanisme kerja politik, ekonomi, dan sosial.
Sementara itu, perangkat lunak meliputi, cara berpikir (paradigma), pola
perilaku, tabiat dan kebudayaan dalam masyarakat sudah mulai ditata. Penataan
perangkat keras mungkin selesai dalam tahapan transisi ini, namun tidak
demikian halnya dengan penataan perangkat lunak.
Tahapan keempat
adalah konsolidasi demokrasi. Dalam tahapan ini, perangkat keras sudah tertata
kembali dengan relatif baik, dan pemilihan umum berikutnya bisa diselenggarakan
secara demokratis dan menghasilkan pemerintahan yang memiliki legitimasi makin
kukuh. Konsolidasi demokrasi biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama karena
juga harus menghasilkan perubahan perangkat lunak yang ditandai dengan telah
terlihatnya perubahan atau perbaikan cara berpikir, pola perilaku, tabiat dan
kebudayaan dalam masyarakat.
Dari perspektif penahapan diatas, pasca pemilihan
umum 1999 yang menghasilkan pemerintahan duet Abdurrahman Wahid-Megawati,
Indonesia memasuki tahapan transisi menuju demokrasi. Tahap pratransisi
demokrasi dialami Indonesia sejak pertengahan 1990an ketika terjadi krisis
moneter yang berkembang menjadi krisis multi dimensi. Puncak dari tahapan ini
terjadi ketika gerakan mahasiswa menghebat semenjak minggu ketiga Februari 1998
hingga jatuhnya presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Selama masa pemerintahan
Habibie, Indonesia mengalami tahapan liberalisasi politik tahap awal dengan
segenap cirinya yang muncul pada masa itu.
Transisi dari pemerintahan non demokratis menuju
pemerintahan demokratis merupakan sebuah proses yang kompleks dan melibatkan
sejumlah tahapan. Pada kasus tipikal kontemporer, permulaan proses ditandai
dengan terjadinya krisis dan akhirnya perpecahan dalam tubuh rezim non
demokratis. Jika transisi menuju demokrasi diawali dengan kesadaran dari rezim
otoriter bahwa mereka harus meninggalkan kekuasaannya, maka tahapan ini akan
diakhiri dengan pembentukan sebuah pemerintahan baru berdasarkan pemilihan yang
bebas. Namun, prosesnya tidak berakhir disitu. Rezim yang baru seringkali
menjadi demokrasi yang terbatas, lebih demokratis dari pemerintahan sebelumnya,
namun belum demokrasi sepenuhnya.
Proses transisi demokrasi mencakup tahap
liberalisasi politik dan tahap demokratisasi, yang berlangsung secara gradual,
liberalisasi lebih dahulu kemudian berlanjut kepada demokratisasi, atau secara
bersama-sama dan sekaligus, atau bisa juga suatu transisi tanpa tahap
demokratisasi sama sekali. Liberalisasi politik hanya mencakup perluasan serta
perlindungan hak-hak dan kebebasan individu maupun kelompok dari kesewenangan
negara atau pihak lain, tanpa perubahan struktur pemerintahan dan akuntabilitas
penguasa terhadap rakyatnya. Sementara itu, demokratisasi harus mencakup
perubahan struktur pemerintahan (yang otoriter) dan adanya pertanggungjawaban
penguasa kepada rakyat (yang sebelumnya tidak ada). Karena itu, proses transisi
tidak selalu berakhir dengan konsolidasi demokrasi. Bisa saja suatu transisi
demokrasi berlangsung tetapi hanya pada tingkat liberalisasi politik belaka,
tanpa diikuti fase demokratisasi yang bermuara pada suatu konsolidasi.
Seperti dijelaskan sebelumnya, transisi dari
pemerintahan non demokratis menuju pemerintahan demokratis merupakan sebuah
proses yang kompleks dan melibatkan sejumlah tahapan. Kesulitan tahapan ini
tidak lepas dari apa yang disebut Huntington sebagai masalah-masalah transisi
yang muncul. Mengenai hal ini, Huntington menyebutkan: “masalah-masalah
transisi muncul langsung dari fenomena perubahan rezim dari otoriterianisme ke
demokrasi. Masalah-masalah ini meliputi masalah memapankan sistem konstitusi
dan sistem pemilihan yang baru; menyingkirkan para pejabat yang pro
otoriterisme dan menggantikan mereka dengan pejabat-pejabat yang demokratis;
mencabut atau mengubah undang-undang yang tidak cocok untuk demokrasi;
menghapus atau secara drastis mengubah badan-badan yang otoriter seperti polisi
rahasia; dan pada sistem satu partai terdahulu, memisahkan hak milik, fungsi,
dan personalia partai dengan hak milik, fungsi dan personalia pemerintah”[11].
Lebih lanjut Hunington menunjuk pada dua masalah
transisi yang penting di banyak negeri adalah “masalah si penyiksa”, yaitu
bagaimana memperlakukan pejabat-pejabat otoriter yang telah secara kasar
melanggar hak-hak asasi manusia, dan “masalah praetorian”, yaitu bagaimana
memperkecil keterlibatan militer dalam politik dan memantapkan suatu pola
hubungan sipil-militer yang professional.
Selain masalah-masalah transisi di atas, Huntington
juga menjelaskan masalah kontekstual. Masalah ini berasal dari watak
masyarakat, perekonomian, budaya dan sejarahnya, serta dalam taraf tertentu
bersifat endemik di negeri itu, apapun bentuk pemerintahannya. Dan
masalah-masalah yang umum terjadi di negeri-negeri ddemokrasi gelombang ketiga
antara lain adalah pemberontakan, konflik komunal, antagonisme regional,
kemiskinan, ketimpangan sosial-ekonomi, inflasi, hutang luar negeri, dan laju
pertumbuhan ekonomi yang rendah. Banyak kalangan seringkali menekankan bahaya
masalah-masalah ini bagi pengkonsolidasian sstem demokrasi yang baru.
Mengenai konsolidasi demkrasi dikatakan bahwa
konsolidasi dimulai ketika lembaga-lembaga dan tata pemerintahan yang baru
sudah diorganisasikan dan mulai bekerja serta berinteraksi menurut
aturan-aturan main yang baru pula. Suatu demokrasi yang terkonsolidasi dapat
diartikan sebagai sebuah rezim politik dimana demokrasi berlaku sebagai sebuah
kompleksitas dari sistem kelembagaan, aturan-aturan dan pola pemberian insentif
dan disinsentif, sehingga terjadi satu-satunya aturan permainan di dalam
kehidupan bersama.
Esensi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku
dan sikap, baik di tingkat elit maupun massa, yang mencakup dan bertolak dari
metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Sementara itu, dalam konteks kasus
Indonesia, secara sederhana dikatakan bahwa transisi menuju demokrasi yang
dialami Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru mestinya bermuara pada
konsolidasi demokrasi yang ditandai dengan adanya efektivitas pemerintahan,
stabilitas politik, dan pulihnya kehidupan ekonomi.
Namun transisi demokrasi tidak selalu menghasilkan
konsolidasi demokrasi. Rezim yang baru seringkali menjadi demokrasi yang
terbatas, lebih demokratis daripada pemerintahan sebelumnya, namun belum
demokratis sepenuhnya. Bahkan bisa saja terjadi krisis dan kemunduran, karena
hasil dari perubahan rezim tidak selalu berupa demokrasi. Pola tipikal bagi
banyak negara berkembang benar-benar memperhatikan langkah maju-mundur antara
otoritarianisme dan demokrasi yang lemah[12].
Dari tipikal ini, kemudian dikembangkan konsep
demokrasi beku, untuk menggambarkan suatu kondisi masyarakat di mana sistem
politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai
kendala yang ada. Akibatnya, proses perubahan politik tidak menuju pada
pembentukan tatanan sosial-politik yang demokratis, tetapi sangat dimungkinkan
berjalan menyimpang atau bahkan berlawanan dengan arah yang dicita-citakan.
Ada empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku, yaitu:
sempoyongannya ekonomi baik pada tingkat nasional maupun lokal, mandegnya
proses pembentukan masyarakat warga, konsolidasi sosial-politik yang tidak
pernah mencapai soliditas namun cenderung semu, dan penyelesaian tidak tuntas
terhadap masalah-masalah sosial-politik-hukum yang diwariskan oleh rezim-rezim
terdahulu.
Kondisi inilah yang dikatakan sebagai tingkat
“ketidakpastian” yang tinggal dalam transisi demokrasi. Kondisi ketidakpastian
yang bisa menyebabkan maju mundurnya proses demokratisasi, atau bahkan yang
terjadi adalah konsolidasi otoritarianisme. Kasus-kasus semacam inilah yang
memunculkan gejala arus balik, yakni terjadinya proses penguatan kembali
otoritarianisme atau totalitarianisme.
Salah satu jalan atau metode perubahan yang
dilakukan sebuah rezim otoriter untuk mendemokratisasikan dirinya adalah dengan
reformasi. Ini merupakan antitesa dari jalan revolusi, walaupun dalam
prosesnya, reformasi bisa memiliki
kaitan dengan revolusi. Huntington mendefinisikan reformasi sebagai
perubahan yang terbatas dalam hal cakupan dan moderat dalam laju kepemimpinan,
kebijakan dan pranata-pranata politik[13].
Dalam konteks perubahan politik di Indonesia,
reformasi sebagai proses perubahan atau perombakan sistem nilai dan tatanan
lama yang dianggap keliru[14].
Perubahan itu setidaknya harus mencakup beberapa substansi dasar, antara lain:
kekuasaan mengalami desakralisasi, pembangunan mengalami proses demitologisasi,
Orde Baru mengalami degradasi kredibilitas, hak dan kewajiban rakyat mengalami
redefinisi, sejarah mengalami reinterpretasi, pemerintahan melemah dan seolah-olah
dilemahkan, dan informasi mengalami pluralisasi.
Dengan ketujuh indikator diatas, reformasi di
Indonesia adalah sesuatu yang masih berlangsung dan akan terus berlangsung.
Proses ini sangat mungkin memunculkan tingkat kesulitan yang kompleks, setidaknya karena tiga kondisi yang menyertai proses
reformasi itu. Pertama, proses
reformasi saat ini belum tentu mengarah pada perbaikan-perbaikan yang
sepenuhnya positif. Bisa saja proses reformasi itu justru menghasilkan
distorsi-distorsi baru. Kedua, reformasi
berlangsung pada saat belum adanya alternatif baru. Ketiga, reformasi yang belum selesai saat ini masih akan terus
ditandai oleh perkembangan demi perkembangan.
Mengenai masalah kesulitan proses reformasi, dalam
analisisnya, Huntington menegaskan adanya tingkat kesulitan yang tinggi dari
jalan reformasi[15].
Tingkat kesulitan ini membuat prosesnya jauh lebih lama dari pada jalan revolusi.
Kesuksesan reformasi juga sangat ditentukan oleh pilihan-pilihan strategi yang
dijalankan rezim penguasa dan agen-agen reformasi. Dala prakteknya ada tiga hal
yang dihadapi oleh agen reformasi: 1) perjuangan mereka bersisi ganda, yaitu
menghadapi kelompok-kelompok konservatif dan revolusioner, 2) para agen
reformasi tidak hanya harus lebih ahli dalam menggerakkan dan mendayagunakan
kekuatan-kekuatan sosial, tetapi juga harus lebih berpengalaman dalam
mengendalikan perubahan sosial. Reformasi bertujuan untuk satu perubahan dan
bukan perubahan total, yakni perubahan gradual, bukan perubahan mendadak, dan
3) masalah prioritas dan alternatif antar perbedaan tipe-tipe reformasi jauh
lebih akut.
Dengan menganalisis sejarah perubahan politik di
Eropa Barat dapat dibuktikan, bahwa reformasi bukannya akan meningkatkan
stabilitas, melainkan instabilitas bahkan akan melahirkan revolusi itu sendiri.
Reformasi bisa menjadi katalisator revolusi ketimbang substitusi. Menurut
kesimpulan Huntington, sudah terbukti bahwa pada sejumlah kasus, ketika rezim
melancarkan reformasi dan memberi jaminan konsesi untuk terus melakukan
perubahan, ia pasti akan menghadapi bola salju gerakan revolusi.
Impact reformasi atas probabilitas revolusi
tergantung atas komposisi sosial berbagai kelompok-kelompok yang potensial
revolusioner. Dua kelompok penting disini adalah intelektual kelas menengah
perkotaan dan kaum tani pedesaan. Kedua kelompok ini berikut tuntutan mereka,
memiliki perbedaan mendasar. Akibatnya, reformasi bagi kelas menengah perkotaan
merupakan katalisator revolusi, sementara bagi kaum tani pedesaan, reformasi
merupakan substitusi revolusi.
Oposisi intelektual perkotaan terhadap penguasa merupakan
ciri berkesinambungan, bukan saja dalam masyarakat praetorian, tetapi juga
hampir di semua tipe masyarakat negara berkembang. Di tengah-tengah masyarakat
praetorian, para mahasiswa merupakan kekuatan politik kelas menengah yang
paling penting dan aktif. Dalam masyarakat Pretoria, peluang mereka melancarkan
aksi politik langsung dibatasi oleh kokohnya pranata-pranata politik yang
berlaku dan konsep legitimasi yang valid. Pertentangan mahasiswa atas penguasa
menggambarkan sindrom oposisi kelas menengah yang ekstrim, sebab ia bersifat
konstan.
Berbeda dari intelektual perkotaan, kaum tani
menjadi revolusioner ketika kebutuhan pokok mereka berubah, seperti; keamanan
pribadi, aturan sewa menyewa yang berlaku, ketenagakerjaan, pajak-pajak, dan
harga-harga barang kebutuhan rutin sudah sedemikian parahnya. Sepanjang
sejarah, revolusi kaum tani selalu ditujukan guna menghapus kebengisan dan
penindasan. Faktor kekecewaan material para petani merupakan masalah krusial
dalam menyediakan alternatif revolusi. Tidak ada pemerintah yang dapat
memuaskan tuntutan para perusuh. Tetapi pemerintah dapat saja mempengaruhi
kondisi hidup di pedesaan sehingga memperkecil propensitas revolusi kaum tani.
Bila reformasi dapat berfungsi sebagai katalisator revolusi di perkotaan, maka
reformasi juga bisa menjadi substitusi bagi revolusi di pedesaan.
C. Gerakan Mahasiswa Sebagai Kelompok
Aksi Demokrasi
Salah satu aspek pemabahasan penting dalam wacana
demokratisasi adalah peran kekuatan-kekuatan oposisi yang ada di tengah-tengah
masyarakat sipil. Ketika membicarakan tentang reformasi, Huntington secara
jelas menyebutkan peran intelektual perkotaan sebagai kekuatan oposisi yang
paling penting, aktif dan cenderung permanen. Dalam kasus Indonesia, mahasiswa
telah berpartisipasi penting dalam setiap perubahan penting dalam sejarah
politik Indonesia. Organisasi-organisasi mahasiswa mendukung kenaikan Soeharto
menuju kekuasaan, tetapi sejak awal 1970-an aktivisme mahasiswa telah diarahkan
untuk menentang rezim Orde Baru.
Pada akhir 1980, sebuah gelombang baru demontrasi
mahasiswa dimulai. Demokrasi dan hak asasi manusia merupakan tema lazim bagi
gerakan protes mahasiswa. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan mahasiswa
tahun 1997/1998 adalah yang paling menentang kekuasaan Soeharto. Bermula dari
menuntut demokratisasi, penegakan HAM, pelaksanaan reformasi total, hingga
meningkat pada pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden. Dari penghujung
1997 sampai mei 1998, hampir setiap pekan terjadi gelombang demontrasi dari
berbagai elemen atau kelompok mahasiswa di berbagai kota besar. Bentuk dan pola
aksinya pun beragam, seperti demontrasi, mimbar bebas, dialog, audiensi,
seminar, pawai, dan sebagainya. Peran ini berlanjut terus dengan mengkritisi
rezim-rezim transisi yang muncul kemudian hingga tahun 2003, saat Megawati
menjadi presiden pasca Soeharto.
Ada dua jenis peran yang dijalankan gerakan
mahasiswa sepanjang proses reformasi[16].
Peran pertama sejak maraknya aksi demontrasi mahasiswa pada awal 98 hingga
jatuhnya Soeharto, yaitu sebagai gerakan moral. Konsep gerakan moral bagi
gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah konsep yang menganggap gerakan
mahasiswa hanyalah merupakan kekuatan pendobrak, ketika terjadi kemacetan dalam
sistem politik. Sesudah pendobrakan dilakukan, langkah berikutnya adalah tugas
kekuatan-kekuatan politik yang ada, dalam hal ini partai-partai atau
organisasi-organisasi politik yang lebih mapan, untuk melakukan pembenahan.
Peran kedua dijalankan sejak kejatuhan Soeharto dan munculnya pemerintahan
transisi baru. Arbi Sanit menekankan pada peran politik mahasiswa yang tidak
lagi sebatas pada gerakan moral, tetapi mengembangkan aksi-aksi politik melalui
kerjasama dengan berbagai unsur kekuatan oposisi untuk melanjutkan proses
perubahan.
Uhlin lebih jauh mengkategorikan kelompok-kelompok
mahasiswa yang sejak awal tahun 80-an menentang rezim Orde Baru sebagai
kekuatan oposisi[17].
Ia menempatkan oposisi mahasiswa ini sebagai salah satu dari empat kekuatan
oposisi, yaitu: 1) kelompok LSM senior, 2) pembangkang di tubuh elit, 3)
aktivis kemahasiswaan, dan 4) generasi baru LSM pro-demokrasi. Namun dalam
bahasannya, Uhlin tidak menyorot kerjasama politik yang terjadi antara kelompok
oposisi mahasiswa dengan kelompok oposisi lainnya. Hal inilah yang kemudian di
gagas oleh Arni Sabit, yaitu perlunya kelompok mahsiswa menjalankan peran
oposisi bersama-sama dengan kekuatan oposisi lainnya untuk memastikan
terbangunnya sebuah sistem politik baru yang demokratis.
Lebih jauh Arbi mengajukan argumentasinya, “sebab
penting disadari, bahwa keberhasilan menumbangkan sistem totaliter tidak
berarti jalan lempang bagi restrukturisasi politik dan sosial. Justru
rekonstruksi masyarakat pasca revolusi, akan dipenuhi oleh
kontadiksi-kontradiksi, ironi-ironi dan permasalahan-permasalahan
sosial-politik yang tak terbayangkan sebelumnya. Kecemasan akan kembalinya
tampuk kekuasaan pada kelompok konservatif dan melemahnya perlawanan dari massa
rakyat adalah bukti kompleksitas persoalan yang dihadapi mahasiswa saat
sekarang. Menjelang dan sesudah pemilu, gerakan mahasiswa perlu untuk
menyiapkan serangkaian proses cetak biru perubahan yang akan menempatkan posisi
tawar gerakan mahasiswa dengan kekuasaan”[18].
D. Pentingnya Kelompok Aksi
Ada beberapa kunci yang harus dimainkan kekuatan
oposisi dalam memperjuangkan demokratisasi. Pertama,
resistensi terhadap intergrasi , yaitu kemampuan oposisi untuk menjaga
independensi ideologi, politik, budaya dan institusinya sehingga tidak
terkooptasi oleh rezim otoriterian. Dengan independensi inilah, mereka bisa
menjalankan peran oposisinya. Kedua,
mengamankan wilayah otonomi, yaitu penegasan batasan-batasan partisipasi
kekuatan oposisi di dalam sistem dan partisipasinya di luar sistem. Tantangan
yang signifikan bagi pemerintahan otoriter biasanya muncul dari
institusi-institusi yang ada pada daerah abu-abu, dimana dalam situasi krisis
dan kebebasan, mereka bisa dengan cepat menjadi kekuatan-kekuatan oposisi.
Ketiga,
mempertunjukkan legitimasi rezim otoriter, yaitu melemahkan hegemoni kekuasaan,
sehingga basis koersi yang digunakannya menjadi tampak. Keempat, meningkatkan biaya pemerintahan otoriter, yaitu menjadikan
penguasa harus membayar mahal dari upayanya menjaga kekuasaan. Semakin mahal
biaya untuk menjaga kekuasaan, semakin terbuka pintu bagi demokratisasi. Kelima, mendorong menurunnya tingkat
ketakutan, yaitu upaya oposisi meyakinkan masyarakat untuk melakukan
tindakan-tindakan politik. Keenam,
menciptakan alternatif-alternatif demokrasi yang kredibel. Seringkali
keberadaan dan keberlangsungan rezim otoriter disebabkan ketiadaan
gagasan-gagasan alternatif baru bagi perubahan. Oleh karena itu, oposisi harus
menghimpun sebanyak-banyaknya unsur anti otoriterian dan merumuskan
gagasan-gagasan alternatif yang disepakati bersama. Dalam proses transisi
rezim, seringkali kekuatan oposisi berperan penting bagi kejatuhan rezim,
tetapi tidak selalu dengan mudah mereka mengambil alih kekuasaan baru. Kasus
semacam ini biasanya terjadi dalam proses transisi dengan jalan transformation
atau transplacement.
Dalam perspektif Haynes, kekuatan-kekuatan kelompok
oposisi inilah yang dikategorikan sebagai “kelompok aksi” yang merefleksikan
upaya masyarakat di bawah untuk menyuarakan dan mengejar apa yang mereka
pandang sebagai kepentingan mereka melalui usaha kolektif[19].
Meskipun sangat beragam, apa yang menjadi persamaan dalam perjuangan adalah
bahwa sering mereka itu di luar pengendalian negara atau partai politik yang
telah melembaga.
Haynes menjelaskan, penggunaan istilah “kelompok
aksi” didasari beberapa alasan. Pertama,
mereka adalah kelopok yang mempunyai ciri suatu keinginan untuk mencapai tujuan
melalui aktivitas mereka sendiri. Kedua,
para anggota memandang dirinya sendiri sebagai bagian dari suatu kelompok
karena mereka terkait dengan keadaan yang serupa. Ketiga, mereka itu sering secara sadar mengaitkan perjuangan
pribadi mereka pada penciptaan masyarakat yang lebih demokratis dan adil.
Dalam perspektif politik, tuntutan akan demokrasi
juga mendorong dibentuknya kelompok aksi. Sering dinyatakan, bahwa mobilisasi
untuk protes kian meninggi di Dunia Ketiga pada awal decade 1980-an dibanding
dekade-dekade sebelumnya. Hal ini diantaranya dikarenakan iklim politik yang
dihasilkan dari tuntutan demokrasi membantu memberikan ‘ruang’ bagi kelompok
aksi untuk menyusun barisannya, memobilisasi dan menuntut perubahan. Di sisi
lain, apa yang disebut Haynes sebagai ‘demokrasi formal’ (menyangkut pemilihan
umum secara teratur tetapi kekuasaan sedikit banyak tetap berada di tangan yang
sama) ikut membantu memberikan dorongan terbentuknya kelompok aksi, khususnya
di kelompok-kelompok yang beranggapan bahwa mereka tidak dapat mendapatkan
manfaat dari bentuk demokrasi semacam itu.
Sepanjang dekade 90-an, Haynes mencatat terjadinya
ledakan-ledakan politik yang dilakukan dilakukan berbagai kelompok aksi. Hal
yang dicatat adalah adanya ciri sesuatu yang baru: kecenderungan untuk menolak
kekuasaan yang dilaksanakan tanpa konsultasi atau tanggung jawab dan menuntut
pembagian yang layak dalam hal sumber daya bagi semua orang. Ada tiga hal yang
menyebabkan ledakan anti sistem yang demikian itu. Pertama, terdapat perasaan terasing dari penguasa, dengan tanggapan
yang berbeda-beda dan secara politis ambivalen. Hal ini khususnya tampak
diantara kaum muda, terutama mahasiswa. Kedua,
terdapat penolakan yang luas untuk menerima keputusan dari kelompok yang sedang
memegang kekuasaan, baik yang dipilih secara demokratis atau tidak, karena elit
penguasa sering dipandang berada di luar jangkauan perasaan dan aspirasi rakyat
jelata yang seharusnya dibawa oleh demokrasi untuk menaikkan tingkat
keterwakilan dan pengaruh kemasyarakatan. Ketiga,
kesulitan sosial dan ekonomi merupakan akar dari keberadaan aksi politik
kelompok. Juga problem sangat berat di kebanyakan kota yang tumbuh dengan cepat
di dunia ketiga. Di sebuah dunia yang urbanisasinya cepat, harga bahan bakar,
perumahan, makanan, dan air meningkat, seiring dengan keadaan lingkungan di
kota yang semakin memburuk.
Singkatnya, menurut Haynes, pentingnya kelompok aksi
secara politik berasal dari: 1) aneka tanggapan terhadap tidak adanya
pembangunan dan pemberdayaan, 2) tuntutan untuk mengurangi pengaruh negara, 3)
kemerosotan ekonomi, dan 4) tersebarnya tuntutan atas hal yang ‘nyata’ (yang
oleh Haynes disebut sebagai demokrasi substantif. Jadi pentingnya kelompok aksi
secara politis adalah bahwa secara kolektif mereka menantang status quo yang
biasanya di dominasi oleh minoritas elit.
Daftar
Pustaka
Budiman, Arief, et.all (2000). Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia.
Jakarta: BIGRAF Publishing.
Fatah, Eep Saefullah (1998), Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fatah,
Eep Saefullah (2000). Zaman
Keemasan;Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung:
Penerbit Mizan.
Harahap, Muchtar, et.all (1999). Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia.
Jakarta: NSEAS.
Haris, Sayamsudin (1999). Transisi Demokrasi; Evaluasi Kritis
Penyelenggaraan Pemilu 1999. Jakarta. KIPP.
Haynes, Jeff (2000). Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia
Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Huntington,
Samuel. P (1983). Tertib Politik di dalam
Masyarakat yang sedang Berubah. Jakarta: Penerbit Rajawali.
Huntington, Samuel. P (1997). Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta:
Pustaka Grafiti Press.
Prasentyatoko, et. all. (2001). Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia.
Jakarta. YHDS.
Sanit,
Arbi (1999). Pergolakan Melawan
Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar dan Insist.
Sorensen,
Georg (2003). Demokrasi dan
Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang sedang Berubah.
Jakarta: Pustaka Pelajar dan CCSS.
Uhlin, Anders (1998). Oposisi Bergerak; Arus Deras Demokratisasi
Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung. Penerbit Mizan.
[1] Sayamsudin Haris, Transisi Demokrasi; Evaluasi Kritis
Penyelenggaraan Pemilu 1999. Jakarta. KIPP. 1999. Hal 17
[2] Anders Uhlin, Oposisi Bergerak; Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di
Indonesia. Bandung. Penerbit Mizan. 1998. Hal 108-113.
[3] Prasentyatoko, et. all., Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia.
Jakarta. YHDS. 2001. Hal 1
[4] Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. 2000. Hal 137-139.
[5] Eep Saefullah Fatah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998. Hal 276-278.
[6] Muchtar Harahap, et.all, Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia.
Jakarta: NSEAS. 1999. Hal 9.
[7] Prasentyatoko, et. all., Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia.
Jakarta. YHDS. 2001. Hal 9.
[8] Arif Budiman, et.all,Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah
Reformasi Indonesia. Jakarta: BIGRAF Publishing. 2000. Hal 87-116.
[9] Samuel. P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta:
Pustaka Grafiti Press. 1997. Hal 45.
[10] Eep Saefullah Fatah, Zaman Keemasan;Agenda-Agenda Besar
Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan. 2000. Hal
xxxviii-xli.
[11] Samuel. P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta:
Pustaka Grafiti Press. 1997. Hal 272.
[12] Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang
sedang Berubah. Jakarta: Pustaka Pelajar dan CCSS. 2003. Hal 42-107.
[13] Samuel. P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat yang
sedang Berubah. Jakarta: Penerbit Rajawali. 1983. Hal 531.
[14]
Eep Saefullah Fatah, Zaman Keemasan;Agenda-Agenda Besar
Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan. 2000. Hal
xxix-xxxiv.
[15] Samuel. P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat yang
sedang Berubah. Jakarta: Penerbit Rajawali. 1983. Hal 531.
[16] Arbi sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan
Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist. 1999. Hal 218.
[17] Anders Uhlin, Oposisi Bergerak; Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di
Indonesia. Bandung. Penerbit Mizan. 1998. Hal 89-126.
[18] Arbi sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan
Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist. 1999. Hal 218.
[19] Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. 2000. Hal 1-41.